Wednesday, November 16, 2011

ASAS-ASAS HUKUM TATA NEGARA

1. Pengertian

Menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan asas adalah dasar,

pedoman, atau sesuatu yang menjadi pokok dasar.

Asas-asas dalam Hukum Tata Negara dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar

yang merupakan hukumpositif dan mengatur mengenai asas-asas dan pengertianpengertian

dalam penyelenggaraan Negara.

2. Asas-Asas Hukum Tata Negara

1. Asas Pancasila

Bangsa Indonesia telah menetapkan falsafah/asas dasar Negara adalah

Pancasila yang artinya setiap tindakan/perbuatan baik tindakan pemerintah

maupun perbuatan rakyat harus sesuai dengan ajaran Pancasila.

Dalam bidang hukum Pancasila merupakan sumber hukum materiil, sehingga

setiap isi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan

sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.

Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan Konstitusional daripada

Negara Republik Indonesia.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung empat pokok-pokok

pikiran yang merupakan cita-cita hukum Bangsa Indonesia yang mendasari

hukum dasar Negara baik hukum yang tertulis dan hukum tidak tertulis.


Pokok-pokok pikiran yang merupakan pandangan hidup bangsa adalah :

1. Pokok Pikiran Pertama “ Negara “

“Negara menlindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan

Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dari penjelasan di atas menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia

adalah Negara Kesatuan yang melindungi Bangsa Indonesia serta

mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan dmikian Negara mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah

yang menimbulkan perpecahan dalam Negara, dan sebaliknya Negara,

pemerintah serta setiap warga Negara wajib mengutamakan kepentingan

Negara di atas kepentingan golongan ataupun perorangan.

2. Pokok pikiran kedua adalah :

“ Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.

Istilah Keadilan Sosial merupakan masalah yang selalu dibicarakan dan

tidak pernah selesai, namun dalam bernegara semua manusia Indonesia

mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam segala bidang terutama

yang menyangkut hukum positif.

Penciptaan keadilan sosial pada dasarnya bukan semata-mata tanggung

jawab Negara akan tetapi juga masyarakat, kelompok masyarakat bahkan

perseorangan.


3. Pokok pikiran ketiga adalah :

“ Negara yang berkedaulatan rakyat “

Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam Negara Indonesia yang

berdaulat adalah rakyat atau Kedaultan ada ditangan rakyat.

Dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat ini melallui musyawarah oleh

wakil-wakil rakyat.

4. Pokok pikiran keempat

“ Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang adil dan beradab”.

Negara menjamin adanya kebebasan beragama dan tetap memelihara

kemanusian yang adail dan beradab.

2. Asas Negara Hukum

Setelah UUD 1945 diamandemen, maka telah ditegaskan dalam pasal 1 ayat 3

bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara hukum dimana sebelumnya hanya

tersirat dan diatur dalam penjelasan UUD 1945”.

Atas ketentuan yang tegas di atas maka setiap sikap kebijakan dan tindakan

perbuatan alat Negara berikut seluruh rakyat harus berdasarkan dan sesuai

dengan aturan hukum. Dengan demikian semua pejabat/ alat-alat Negara tidak

akan bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya.

Dalam Negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam

penyelenggaraan Negara dengan kata lain yang memimpin dalam

penyelenggaraan Negara adalah hukum, hal ini sesuai dengan prinsip “ The

Rule of Law and not of Man”.


Istilah Negara hukum merupakan terjemahan dari Rechtstaat yang popular di

eropa Kontinental pada abad XIX yang bertujuan untuk menentang suatu

pemerintahan Absolutisme.

Sifat dari Rechtstaat sesuai dengan ………. dari Eropa Kontinental adalah

sistem Kodifikasi yang berarti semua peraturan hukum harus disusun dalm

satu buku sesuai dengan jenisnya, sehingga karakteristik daripada Rechtstaat

adalah bersifat administratif.

Unsur-unsur / ciri-ciri khas daripada suatu Negara hukum atau Rechstaat

adalah :

1. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia

yang mengandung persamaan dalam bidang politik, ekonomi, sosial,

kultur dan pendidikan.

2. Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh

suatu kekuasaan atau kekuatan lain apapun.

3. Adanya legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya.

4. Adanya Undang-Undang Dasaer yang memuat ketentuan tertulis tentang

hubungan antara penguasa dengan rakyat.

5. Adanya pembagian kekauasaan Negara.

Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa Rechstaat adalah pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip

kebebasan dan persamaan.


Adanya Undang-Undang Dasar akan menjamin terhadap asas kebebasan dan

persamaan. Dengan adanya pembagian kekuasaan untuk menghindari

penumpukkan kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung pada

penyalahgunaan kekuasaan terhadap kebebasan dan persamaan.

Disamping konsep Rechstaat dikenal pula konsep The Rule of Law yang

sudah ada sebelum konsep Rechstaat.. Rule of Law berkembang di Negara

Anglo Saxon yang bertumpu pada sistem hukum Common law dan bersifat

yudicial yaitu keputusan-keputusan/ yurisprudensi.

Menurut Soerjono Soekanto, istilah Rule of Law paling sedikit dapat ditinjau

dalam dua arti yaitu :

1. Arti formil, dimaksudkan sebagai kekuasaan publik yang teroganisir

yang berarti setiap tindakan/perbuatan atau kaidah-kaidah

didasarkan pada khirarki perintah dari yang lebih tinggi.

Unsur-unsur Rule of Law dalam arti formil meliputi :

1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

2. Adanya pemisahan kekuasaan.

3. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan

perundang-undangan.

4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.


2. Rule of Law dalam arti materiil atau idiologis mencakup ukuranukuran

tentang hukum yang baik atau yang tidak yang antara lain

mencakup :

1. Kesadaran ketaatan warga masyarakat terhadap kaidah-kaidah hukum

yang ditetapkan oleh yang berwenang.

2. Bahwa kaidah-kaidah tersebut harus selaras dengan hak-hak asasi

manusia.

3. Negara berkewajiban menjamin tercapainya suatu keadilan sosial dan

kebebasan, kemerdekaan, penghargaan yang wajar terhadap martabat

manusia..

4. Adanya tata cara yang jelas dalam proses untuk mendapatkan keadilan

terhadap perbuatan yang sewenang-wenang dari penguasa.

5. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka dari kekuasaan dan

kekuatan apapun juga.

3. Asas Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi

Pengertian :

Kedaulatan artinya kekuasaan atau kewenangan yang tertinggi dalam suatu

wilayah. Kedaulatan ratkyat artinya kekuasaan itu ada ditangan rakyat,

sehingga dalam pemerintah melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan

keinginan rakyat. J.J. Rousseaw mengatakan bahwa pemberian kekuasaan

kepada pemerintah melalui suatu perjanjian masyarakat (sosial contract) dan


apabila pemerintah dalam menjalankan tugasnya bertentangan dengan

keinginan rakyat, maka pemerintah dapat dijatuhkan oleh rakyat.

Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan :

“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.

Rumusan ini secara tegas bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat yang diatur

dalam UUD 1945.UUD 1945 menjadi dasar dalam pelaksanaan suatu

kedaulatan rakyat tersebut baik wewenang, tugas dan fungsinya ditentukan

oleh UUD 1945.

Hampir semua para ahli teoritis dari zaman dahulu hingga sekarang

mengatakan bahwa yang berkuasa dalam sistem pemerintahan Negara

demokrasi adalah rakyat.

Paham kerakyatan/ demokrasi tidak dapat dispisahkan dengan paham Negara

hukum, sebab pada akhirnya hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan

Negara/ pemerintah dan sebaliknya kekuasaan diperlukan untuk membuat dan

melaksanakan hukum. Inilah yang juga dikatakan bahwa hubungan antara

hukum dengan kekuasaan tidak dapat dipisahkan dan sangat erat

hubungannya.

Dalam Negara adanya saling percaya yaitu kepercayaan dari rakyat tidak

boleh disalahgunakan oleh Negara dan sebaliknya harapan dari penguasa

dalam batas-batas tertentu diperlukan kepatuhan dari rakyat terhadap aturanaturan

yang ditetapkan oleh Negara.


4. Asas Negara Kesatuan

Pada dasarnya Negara kesatuan dideklarasikan pada saat menyatakan/

memproklamirkan kemerdekaan oelh para pendiri Negara dengan menyatakan

seluruh wilayah sebagai bagian dari satu Negara.

Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 menyatakan :

“Negara Indonesia sebagai suatu Negara kesatuan yang berbentuk Republik.”

Negara kesatuan adalah Negara kekuasaan tertinggi atas semua urusan Negara

ada ditangan pemerintah pusat atau pemegang kekuasaan tertinggi dalam

Negara ialaha pemerintah pusat.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat menjadi dasar suatu

persatuan, mengingat Bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku bangsa,

agama, budaya dan wilayah yang merupakan warisan dan kekayaan yang

harus dipersatukan yaitu Bhineka Tunggal Ika. Ini berarti Negara tidak boleh

disatukan atau diseragamkan, tetapi sesuai dengan Sila ketiga yaitu “Persatuan

Indonesia bukan kesatuan Indonesia. Negara Kesatuan adalah konsep tentang

bentuk Negara dan republic adalah konsep tentang bentuk pemerintahan.

Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggrakan engan pemberian

otonomi kepada daerah yang seluas-luasnya untuk berkembang sesuai dengan

potensi dan kekayaan yang dimiliki masing-masing daerah yang didorong,

didukung dari bantuan pemerintah pusat.

5. Asas Pembagian Kekuasaan dalam Check and Balances


Pengetian pembagian kekuasaan adalah berbeda dari pemisahan kekuasaan,

pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan Negara itu terpisah-pisah

dalam beberapa bagian seperti dikeukakan oleh John Locke yaitu :

1. Kekuasaan Legislatif

2. Kekuasaan Eksekutif

3. Kekuasaan Federatif

Montesquieu mengemukakan bahwa setiap Negara terdapat tiga jenis

kekuasaan yaitu Trias Politica.

1. Eksekutif

2. Legislatif

3. Yudikatif

Dari ketiga kekuasaan itu masing-masing terpisah satu dama linnya baik

mengenai orangnya mapun fungsinya.

Pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu dibagi-bagi dalam

beberapa bagian, tidak dipisahkan yang dapat memungkinkan adanya

kerjasama antara bagian-bagian itu ( Check and Balances).

Tujuan adanya pemisahan kekuasaan agar tindakan sewenang-wenang dari

raja dapat dihindari dan kebebasan dan hak-hak rakyat dapat terjamin.

UUD 1945 setelah perubahan membagi kekuasaan Negara atau membentuk

lembaga-lembaga kenegaraan yang mempunyai kedudukan sederajat serta

fungsi dan wewenangnya masing-masing yaitu :


1. Dewan Perwakilan Rakyat

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Dewan Pimpinan Daerah

4. Badan Pemepriksa Keuangan

5. Presiden dan Wakil Presiden

6. Mahkamah Agung

7. Mahkamah Konstitusi

8. Komisi Yudisial

9. Dan Lembaga-lembaga lainnya yang kewenagannya diatur dalam UUD

1945 dan lembaga-lembaga yang pembentukan dan kewenangannya diatur

dengan Undang-Undang.

Dengan demikian UU 1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan Negara

seperti dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu seperti tersebut di

atas, akan tetapi UUD 1945 membagi kekuasaan Negara dalam lembagalembaga

tinggi Negara dan mengatur pula hubungan timbal balik antara

lembaga tinggi Negara tersebut.

PERKEMBANGAN TEORI HUKUM TATA NEGARA DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

Pada masa lalu, istilah “teori hukum tata negara” sangat jarang sekali terdengar, apalagi dibahas dalam perkuliahan maupun forum-forum ilmiah. Hukum Tata Negara yang dipelajari oleh mahasiswa adalah Hukum Tata Negara dalam arti sempit, atau Hukum Tata Negara Positif. Hal ini dipengaruhi oleh watak rejim orde baru yang berupaya mempertahankan tatanan ketatanegaraan pada saat itu yang memang menguntungkan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pemikiran Hukum Tata Negara baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi terhegemoni bahwa tatanan ketatanegaraan berdasarkan Hukum Tata Negara Positif pada saat itu adalah pelaksanaan dari Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akibatnya, pembahasan sisi teoritis dari Hukum Tata Negara menjadi ditinggalkan, bahkan dikekang karena dipandang sebagai pikiran yang “anti kemapanan” dan dapat mengganggu stabilitas nasional.

Padahal dari sisi keilmuan, Hukum Tata Negara dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah staatsrecht atau hukum negara (state law) yang meliputi 2 pengertian, yaitu staatsrecht in ruimere zin (dalam arti luas), dan staatsrecht in engere zin (dalam arti sempit). Staatsrecht in engere zin atau Hukum Tata Negara dalam arti sempit itulah yang biasanya disebut Hukum Tata Negara atau Verfassungsrecht yang dapat dibedakan antara pengertian yang luas dan yang sempit. Hukum Tata Negara dalam arti luas (in ruimere zin) mencakup Hukum Tata Negara (verfassungsrecht) dalam arti sempit dan Hukum Administrasi Negara (verwaltungsrecht).[1] Pada masa lalu, Prof. Dr. Djokosoetono lebih menyukai penggunaan verfassungslehre daripada verfassungsrecht.Istilah yang tepat untuk Hukum Tata Negara sebagai ilmu (constitutional law) adalah Verfassungslehre atau teori konstitusi. Verfassungslehre inilah yang nantinya akan menjadi dasar untuk mempelajari verfassungsrecht.

Di sisi lain, istilah “Hukum Tata Negara” identik dengan pengertian “Hukum Konstitusi” sebagai terjemahan dari Constitutional Law (Inggris), Droit Constitutionnel (Perancis), Diritto Constitutionale (Italia), atau Verfassungsrecht (Jerman). Dari segi bahasa, Constitutional Law memang biasa diterjemahkan menjadi “Hukum Konstitusi”. Namun, istilah “Hukum Tata Negara” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kata yang dipakai adalah Constitutional Law.Oleh karena itu, Hukum Tata Negara dapat dikatakan identik atau disebut sebagai istilah lain belaka dari “Hukum Konstitusi.”.

A. Reformasi Dan Perkembangan Teori Hukum Tata Negara

Teori Hukum Tata Negara mulai mendapat perhatian dan berkembang pesat pada saat bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Salah satu arus utama dari era reformasi adalah gelombang demokratisasi. Demokrasi telah memberikan ruang terhadap tuntutan-tuntutan perubahan, baik tuntutan yang terkait dengan norma penyelenggaraan negara, kelembagaan negara, maupun hubungan antara negara dengan warga negara. Demokrasi pula yang memungkinkan adanya kebebasan dan otonomi akademis untuk mengkaji berbagai teori yang melahirkan pilihan-pilihan sistem dan struktur ketatanegaraan untuk mewadahi berbagai tuntutan tersebut.

Tuntutan perubahan sistem perwakilan diikuti dengan munculnya perdebatan tentang sistem pemilihan umum (misalnya antara distrik atau proporsional, antara stelsel daftar terbuka dengan tertutup) dan struktur parlemen (misalnya masalah kamar-kamar parlemen dan keberadaan DPD). Tuntutan adanya hubungan pusat dan daerah yang lebih berkeadilan diikuti dengan kajian-kajian teoritis tentang bentuk negara hingga model-model penyelenggaraan otonomi daerah.

Tuntutan-tuntutan tersebut meliputi banyak aspek. Kerangka aturan dan kelembagaan yang ada menurut Hukum Tata Negara positif saat itu tidak lagi sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kehidupan masyarakat. Di sisi lain, berbagai kajian teoritis telah muncul dan memberikan alternatif kerangka aturan dan kelembagaan yang baru. Akibatnya, Hukum Tata Negara positif mengalami “deskralisasi”. Hal-hal yang semula tidak dapat dipertanyakan pun digugat. Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dipertanyakan. Demikian pula halnya dengan kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu besar karena memegang kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan membentuk UU. Berbagai tuntutan perubahan berujung pada tuntutan perubahan UUD 1945 yang telah lama disakralkan.

B. Perubahan UUD 1945

Pembahasan tentang latar belakang perubahan UUD 1945 dan argumentasi perubahannya telah banyak dibahas diberbagai literatur, seperti buku Prof. Dr. Mahfud MD.[5], Prof. Dr. Harun Alrasid[6], dan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Bahkan hasil perubahan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat kali perubahan tersebut telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Perubahan tersebut diantaranya meliputi (i) Perubahan norma-norma dasar dalam kehidupan bernegara, seperti penegasan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar; (ii) Perubahan kelembagaan negara dengan adanya lembaga-lembaga baru dan hilangnya beberapa lembaga yang pernah ada; (iii) Perubahan hubungan antar lembaga negara; dan (iv) Masalah Hak Asasi Manusia. Perubahan-perubahan hasil constitutional reform tersebut belum sepenuhnya dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan maupun praktek ketatanegaraan sehingga berbagai kerangka teoritis masih sangat diperlukan untuk mengembangkan dasar-dasar konstitusional tersebut.

C. Keberadaan Mahkamah Konstitusi

Pembentukan MK merupakan penegasan prinsip negara hukum dan jaminan terhadap hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Pembentukan MK juga merupakan perwujudan dari konsep checks and balances dalam sistem ketatanegaraan. Selain itu, pembentukan MK dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa masalah ketatanegaraan yang sebelumnya tidak diatur sehingga menimbulkan ketidakpastian.

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang meliputi memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C ayat (3) menyatakan bahwa MK wajib memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Selanjutnya keberadaan MK diatur berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tersebut, maka MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) agar dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam pelaksanaannya yang terkait dengan kewenangan dan kewajiban MK. Sebagai penjaga konstitusi, MK sekaligus berperan sebagai penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution). Fungsi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut dilaksanakan melalui putusan-putusan MK sesuai dengan empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki. Dalam putusan-putusan MK selalu mengandung pertimbangan hukum dan argumentasi hukum bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan dan harus dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang, maupun dalam bentuk lain sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh MK.

Keberadaan MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi yang dilaksanakan melalui keempat kewenangan dan satu kewajibannya tersebut menempatkan UUD 1945 di satu sisi sebagai hukum tertinggi yang harus dilaksanakan secara konsisten, dan di sisi lain menjadikannya sebagai domain publik dan operasional. Persidangan di Mahkamah Konstitusi yang bersifat terbuka dan menghadirkan berbagai pihak untuk didengar keterangannya dengan sendirinya mendorong masyarakat untuk terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui perkembangan pemikiran bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan. Bahkan pihak-pihak dalam persidangan juga dapat memberikan pemikirannya tentang penafsiran tersebut meskipun pada akhirnya tergantung pada penilaian dan pendapat para Hakim Konstitusi yang akan dituangkan dalam putusan-putusannya.

Dengan demikian, media utama yang memuat pelaksanaan peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir tunggal konstitusi (the guardian and the sole interpreter of the constitution) adalah putusan-putusan yang dibuat berdasarkan kewenangan dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945. Dengan kata lain, penafsiran ketentuan konstitusi dan perkembangannya dapat dipahami dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, tidak saja yang amarnya mengabulkan permohonan, tetapi juga yang ditolak atau tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Karena itu, suatu putusan tidak seharusnya hanya dilihat dari amar putusan, tetapi juga sangat penting untuk memahami pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang pada prinsipnya memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan konstitusi terkait dengan permohonan tertentu.

Putusan Mahkamah Konstitusi dengan sendirinya merupakan dokumen yang memuat penjelasan dan penafsiran ketentuan dalam konstitusi. Di sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan, khususnya dalam pengujian undang-undang, dengan sendirinya merubah suatu ketentuan norma hukum yang harus dilaksanakan oleh segenap organ negara dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut telah menggairahkan perkembangan teori Hukum Tata Negara. Jika pada masa lalu masalah Hukum Tata Negara hanya berpusat pada aktivitas politik di lembaga perwakilan dan kepresidenan, serta pokok bahasannya hanya masalah lembaga negara, hubungan antar lembaga negara dan hak asasi manusia, maka saat ini isu-isu konstitusi mulai merambah pada berbagai aspek kehidupan yang lebih luas dan melibatkan banyak pihak, bahkan tidak saja ahli hukum.

Mengingat UUD 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi dan sosial budaya, maka perdebatan teoritis konstitusional juga banyak terjadi di bidang ekonomi dan sosial budaya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa putusan MK terkait dengan bidang ekonomi seperti dalam pengujian UU Ketenagalistrikan, UU SDA, dan UU Kepailitan. Di bidang sosial budaya misalnya dapat dilihat dari putusan-putusan pengujian UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pengujian UU Sisdiknas.

Perkembangan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mendorong berkembangnya studi-studi teori Hukum Tata Negara. Beberapa teori yang saat ini mulai berkembang dan dibutuhkan misalnya adalah teori-teori norma hukum, teori-teori penafsiran, teori-teori kelembagaan negara, teori-teori demokrasi, teori-teori politik ekonomi, dan teori-teori hak asasi manusia.

Teori-teori norma hukum diperlukan misalnya untuk membedakan antara norma yang bersifat abstrak umum dengan norma yang bersifat konkret individual yang menentukan bagaimana mekanisme pengujiannya. Pembahasan teori-teori norma hukum juga diperlukan untuk menyusun hierarki peraturan perundang-undangan sehingga pembangunan sistem hukum nasional dapat dilakukan sesuai dengan kerangka konstitusional.

Teori-teori selanjutnya yang mulai mendapat perhatian dan tumbuh berkembang adalah teori penafsiran. Dalam hukum sesungguhnya penafsiran menempati kedudukan yang sentral karena aktivitas hukum “berkutat” dengan norma-norma dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan (imputation) ke dalam suatu peristiwa nyata. Penafsiran menjadi semakin penting pada saat suatu norma konstitusi harus dipahami untuk menentukan norma yang lain bertentangan atau tidak dengan norma yang pertama. Kedua norma tersebut harus benar-benar dipahami mulai dari latar belakang, maksud, hingga penafsiran ke depan pada saat akan dilaksanakan. Untuk itu saat ini telah banyak berkembang studi hukum dengan menggunakan alat bantu ilmu penafsiran bahasa (hermeunetik). Demikian pula teori-teori lain yang juga berkembang cukup pesat.

D. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum

Salah satu teori yang penting di bidang Hukum Tata Negara adalah teori hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Banyak yang berpendapat bahwa secara teoritis keberadaan Mahkamah Konstitusi diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi hanya dapat dijamin secara efektif jika terdapat suatu organ selain badan legislatif yang diberikan tugas untuk menguji konstitusionalitas suatu produk hukum. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court). Organ ini khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diberlakukan oleh organ lain.

Pemikiran Kelsen tersebut mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama “Verfassungsgerichtshoft” atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model”. Hal dirumuskan ketika Kelsen menjadi anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada 1919 – 1920 dan diterima menjadi Konstitusi Tahun 1920. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara “a posteriori”, meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian “a priori”.

Pemikiran Hans Kelsen meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan hukum internasional. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten berdasarkan logika hukum secara formal. Logika formal ini telah lama dikembangkan dan menjadi karakteristik utama filsafat Neo-Kantian yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalisme. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.

Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen sebagai berikut:

1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.

2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.

3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.

4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.

5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.

Pendekatan tersebut yang kemudian disebut dengan “The Pure Theory of Law” telah mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan lain, yaitu antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.

Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non-empiris. Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Di sisi lain, berbeda dengan mahzab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral.[14] Tesis yang dikembangkan oleh kaum empiris disebut dengan the reductive thesis, dan antitesisnya yang dikembangkan oleh mahzab hukum alam disebut dengan normativity thesis. Stanley L. Paulson membuat skema berikut ini untuk menggambarkan posisi Kelsen diantara kedua tesis tersebut terkait dengan hubungan hukum dengan fakta dan moral:

Law and Fact

Law and Moraity
   

normativity thesis

(separability of law

and fact)
   

reductive thesis

(inseparability of law and fact)

Morality thesis

(inseparability of law and morality)
   

Natural law theory
-
Separability thesis

(separability of law and morality)
   

Kelsen’s Pure Theory of Law
   

Empirico-positivist theory of law

Kolom vertikal menunjukkan hubungan antara hukum dengan moralitas sedangkan baris horisontal menunjukkan hubungan antara hukum dan fakta. Tesis utama hukum alam adalah morality thesis dan normativity thesis, sedangkan empirico positivist adalah separability thesis dan reductive thesis. Teori Kelsen adalah pada tesis separability thesis dan normativity thesis, yang berarti pemisahan antara hukum dan moralitas dan juga pemisahan antara hukum dan fakta. Sedangkan kolom yang kosong tidak terisi karena jika diisi akan menghasilkan sesuatu yang kontradiktif, sebab tidak mungkin memegang reductive thesis bersama-sama dengan morality thesis.[16]

Teori yang dikembangkan oleh Kelsen sesungguhnya dihasilkan dari analisis perbandingan sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk konsep dasar yang dapat menggambarkan suatu komunitas hukum secara utuh. Masalah utama (subject matter) dalam teori umum adalah norma hukum (legal norm), elemen-elemennya, hubungannya, tata hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum tata hukum yang berbeda, dan akhirnya, kesatuan hukum di dalam tata hukum positif yang plural. The pure theory of law menekankan pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan manifestasi dari otoritas super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman manusia.

The pure theory of law menolak menjadi kajian metafisis tentang hukum. Teori ini mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas, tidak pada prinsip-prinsip meta-juridis, tetapi melalui suatu hipotesis juridis, yaitu suatu norma dasar, yang dibangun dengan analisis logis berdasarkan cara berpikir yuristik aktual. The pure theory of law berbeda dengan analytical jurisprudence dalam hal the pure theory of law lebih konsisten menggunakan metodenya terkait dengan masalah konsep-konsep dasar, norma hukum, hak hukum, kewajiban hukum, dan hubungan antara negara dan hukum.[17]

End Note
 
1Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet-. Kelima, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), hal. 22.
 
2 Djokosoetono, Hukum Tata Negara, Himpunan oleh Harun Alrasid, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982).

3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 95
 
4 Bandingkan dengan Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2004), hal. 5.
 
5 Moh. Mahfud MD., Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 155 – 157.
 
6 UUD 1945 Terlalu Summier? Kepala Biro Pendidikan FH UI Sarankan Perubahan, Harian Merdeka, 18 Maret 1972, dalam Harun Alrasid, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah Oleh MPR, Revisi Cetakan Pertama, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2003), hal. 44-55.
 
7 Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani, Pokok-pokok Usulan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung.
 
8 Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003, hal. 1.
 
9 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 157. 
 
10 Disebut juga dengan “the centralized system of judicial review”. Lihat Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New Heaven and London: Yale University Press, 1999), hal. 225.
 
11 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 28, 29, 64 – 66, 108 dan 109. Terhadap peran Kelsen dalam hal ini masih ada perbedaan pandangan antara mana yang lebih penting perannya antara Georg Jellinek dan Adolf Merkl atau Hans Kelsen. Lihat end note bagian pertama halaman 51 nomor 32.
 
12 Zoran Jelić, A Note On Adolf Merkl’s Theory Of Administrative Law, Journal Facta Universitatis, Series: Law and Politics, Vol. 1, No. 2, 1998, hal. 147. Bandingkan dengan Michael Green, Hans Kelsen and Logic of Legal Systems, 54 Alabama Law review 365 (2003), hal. 368.
 
13W. Friedmann, Teori & Filasafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Judul Asli: Legal Theory, Penerjemah: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 170.
 
14 Michael Green, Hans Kelsen and Logic of Legal Systems, 54 Alabama Law review 365 (2003), hal. 366.
 
15 Stanley L. Paulson, On Kelsen’s Place in Jurispruden, Introduction to Hans Kelsen, Introduction To The Problems Of Legal Theory; A Translation of the First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law, Translated by: Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, (Oxford: Clarendon Press, 1992), hal. xxvi.

Thursday, November 10, 2011

Kejahatan Terhadap Nyawa

Pengertian
Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan merupakan obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven). Atas dasar kesalahannya, ada dua kelompok kejahatan terhadap nyawa, yaitu:
  1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven), dimuat dalam Bab XIX KUHP, pasal 338 sampai 350:
    1. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338 KUHP)
    2. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak pidana lain (339 KUHP)
    3. Pembunuhan berencana (moord, 340 KUHP)
    4. Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan (341, 342, dan 343 KUHP)
    5. Pembunuhan atas permintaan korban (344 KUHP)
    6. Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri (345 KUHP)
    7. Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (346, 347, 348, dan 349 KUHP)
  2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose misdrijven) dimuat dalam Bab XXI, pasal 359.
A.      Kejahatan Terhadap Nyawa yang Dilakukan Dengan Sengaja (dolus misdrijven)
1.       Pembunuhan Biasa Dalam Bentuk Pokok (Doodslag, 338 KUHP)
Unsur-unsur:
  1. Unsur obyektif:
1)     Perbuatan: Menghilangkan nyawa;
2)     Obyek: Nyawa orang lain.
  1. Unsur subyektif: dengan sengaja
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
  1. Adanya wujud perbuatan;
  2. Adanya suatu kematian (orang lain);
  3. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain).
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338 KUHP) dimaksudkan untuk menghilangkan nyawa orang lain, sedangkan tindak pidana penganiayaaan (mishandeling, 351 KUHP) yang ditujukan hanyalah rasa sakit (pijn), luka (letsel) atau merusak kesehatan saja.
2.       Pembunuhan yang Diikuti, Disertai atau Didahului Dengan Tindak Pidana Lain (339 KUHP)
Unsur-unsur:
  1. Semua unsur pembunuhan (obyektif dan subyektif) pasal 388;
  2. Yang (1) diikuti, (2) disertai atau (3) didahului oleh tindak pidana lain;
  3. Pembunuhan itu dilakukan dengan maksud:
1)     Untuk mempersiapkan tindak pidana lain;
2)     Untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain;
3)     Dalam hal tertangkap tangan ditujukan:
a)     Untuk menghindarkan:
(1)  Diri sendiri
(2)  Peserta lainnya dari pidana
b)     Untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum (dari tindak pidana lain itu).
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Pembedaan pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak pidana lain (339 KUHP) dengan pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (365 KUHP):
  1. Pencurian dengan kekerasan (365 KUHP) kejahatan pokoknya adalah pencurian, sedangkan kejahatan dalam pasal 339 KUHP kejahatan pokonya adalah pembunuhan.
  2. Kesengajaan pada pasal 365 KUHP tidak ditujukan pada kematian orang lain sedangkan kesengajaan pada pasal 339 KUHP ditujukan pada matinya orang lain.
3.       Pembunuhan Berencana (Moord, 340 KUHP)
Unsur-unsur:
  1. Unsur subyektif:
1)     Dengan sengaja;
2)     Dengan rencana terlebih dahulu;
  1. Unsur obyektif:
1)     Perbuatan: menghilangkan nyawa;
2)     Obyek: nyawa orang lain.
Moord, pada dasarnya mengandung tiga syarat:
  1. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang;
  2. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak;
  3. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Pembunuhan berencana (340 KUHP) mengandung semua unsur pembunuhan pokok (338 KUHP) dan ditambah satu unsur lagi, yakni dengan rencana terlebih dahulu. Dapat dikatakan bahwa pembunuhan yang dimaksud dalam pasal 338 KUHP adalah tanpa rencana sedangkan dalam pasal 340 KUHP adalah dengan rencana terlebih dahulu.
4.       Pembunuhan Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat atau Tidak Lama Setelah Dilahirkan (341, 342, dan 343 KUHP)
  1. Pembunuhan Biasa Oleh Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat Atau Tidak Lama Setelah Dilahirkan (Kinderdoodslag, Pasal 341 KUHP)
Unsur-unsur:
  1. Unsur subyektif: Dengan sengaja;
  2. Unsur obyektif:
1)     Petindaknya: seorang ibu
2)     Perbuatannya: menghilangkan nyawa
3)     Obyeknya: nyawa bayinya
4)     Waktunya:
(1)  Pada saat bayi dilahirkan atau
(2)  Tidak lama setelah bayi dilahirkan
5)     Motifnya: karena takut diketahui melahirkan
Syaratnya, petindaknya haruslah seorang ibu, yang artinya ibu dari bayi yang dilahirkan.
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan antara kejahatan dalam pasal 341 KUHP dengan pasal 338 KUHP adalah kejahatan dalam pasal 341 KUHP harus dilakukan oleh ibu terhadap bayinya ketika bayi dilahirkan atau tidak lama setelahnya. Sedangkan pasal 338 KUHP tidak harus dilakukan oleh ibu terhadap bayinya, melainkan oleh siapa saja.
  1. Pembunuhan Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat Atau Tidak Lama Setelah Dilahirkan Dengan Direncanakan Lebih Dulu (Kindermoord, Pasal 342 KUHP)
Unsur-unsur:
  1. Petindak: seorang ibu
  2. Adanya putusan kehendak yang telah diambil sebelumnya;
  3. Perbuatan: menghilangkan nyawa;
  4. Obyek: nyawa bayinya sendiri
  5. Waktu:
a)     Pada saat bayi dilahirkan;
b)     Tidak lama setelah bayi dilahirkan;
  1. Karena takut akan diketahui melahirkan bayi
  2. Dengan sengaja
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan kejahatan dalam pasal 340 KUHP dengan pasal 342 KUHP adalah dalam hal pembentukan kehendak, pembunuhan berencana (340 KUHP) dilakukan dalam keadaan atau suasana batin yang tenang, sebaliknya kindermoord (342 KUHP) dilakukan dalam keadaan atau suasana batin yang tidak tenang karena dalam suasana batin yang ketakutan akan diketahui bahwa ia melahirkan bayi.
  1. Turut Serta Dalam Kinderdoodslag Atau Kindermoord (Pasal 343 KUHP)
Pasal 343 KUHP merupakan perkecualian dari ketentuan pasal 58, yang mana ditujukan agar orang yang berkualitas pribadi selain ibu tidak mendapatkan keringanan pidana. Tujuan pasal ini hanya dalam hal penjatuhan pidana semata. Dengan kata lain beban tanggung jawab pidananya yang sama, bukan perbuatannya yang sama atau dianggap sama.
5.       Pembunuhan Atas Permintaan Korban (344 KUHP)
Unsur-unsur:
  1. Perbuatan: menghilangkan nyawa;
  2. Obyek: nyawa orang lain;
  3. Atas permintaan orang itu sendiri;
  4. Yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan nyata antara pembunuhan dalam pasal 344 KUHP dengan pembunuhan dalam pasal 338 KUHP ialah terletak bahwa pada pembunuhan dalam 344 KUHP terdapat unsur (1) atas permintaan korban sendiri, (2) yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh, dan (3) tidak dicantumkannya unsur kesengajaan sebagaimana dalam rumusan pasal 338 KUHP.
6.       Penganjuran dan Pertolongan Pada Bunuh Diri (345 KUHP)
Unsur-unsur:
1)     Unsur obyektif terdiri dari:
a)     Perbuatan:
(1)  Mendorong,
(2)  Menolong,
(3)  Memberikan sarana
b)     Pada orang untuk bunuh diri
c)      Orang tersebut jadi bunuh diri
2)     Unsur subyektif: dengan sengaja
Dalam perbuatan mendorong (aanzetten), inisiatif untuk melakukan bunuh diri bukan berasal dari orang yang bunuh diri, melainkan dari orang lain, yakni dari orang yang mendorong. Berbeda dengan perbuatan menolong dan memberikan sarana, karena dalam kedua perbuatan ini, inisiatif untuk bunuh diri berasal dari korban sendiri.
Perbedaan Dengan Pasal Lain
  1. Perbedaan perbuatan mendorong dalam pasal 345 KUHP dengan perbuatan menganjurkan (uitlokken) dalam pasal 55 (1) KUHP:
    1. Dalam melakukan perbuatan menganjurkan (pasal 55 ayat 1 sub 2 KUHP) sudah ditentukan cara atau upaya melakukannya secara limitatif, karenanya melakukan penganjuran tidak boleh di luar dari cara-cara yang sudah ditentukan oleh UU itu. Sedangkan dalam melakukan perbuatan mendorong karena tidak disebutkan cara dan bentuknya, maka dapat digunakan dengan segala cara, termasuk cara sebagaimana yang digunakan untuk melakukan perbuatan menganjurkan.
    2. Pada perbuatan mendorong ditujukan agar terbentuknya kehendak orang untuk melakukan bunuh diri yang bukan merupakan suatu tindak pidana, tetapi pada perbuatan menganjurkan ditujukan pada terbentuknya kehendak orang untuk melakukan suatu tindak pidana.
    3. Perbedaan perbuatan menolong dan memberi sarana dengan (pasal 345 KUHP) perbuatan membantu (pasal 56 KUHP):
      1. Perbuatan menolong dan memberi sarana adalah merupakan unsur (perbuatan) dari suatu tinak pidana. Sedangkan membantu bukan merupakan unsur (perbuatan) dari suatu tindak pidana, melainkan suatu bagian dari pelaksanaan dari suatu tindak pidana.
      2. Bagi orang yang menolong dan memberi sarana dibebani tanggung jawab sendiri tanpa melihat dan dikaitkan pada tanggung jawab orang ynag ditolong dan diberi sarana. Sebaliknya, pada pembantuan, orang yang membantu dibebani tanggung jawab dengan dikaitkan pada orang yang dibantu, yakni dipidana setinggi-tingginya pidana maksimum diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiganya.
      3. Percobaan pada bunuh diri, dalam arti jika setelah perbuatan bunuh diri dilaksanakan akibat kematian tidak timbul, maka orang yang menolong dan memberi sarana tidak dapat dipidana. Sebaliknya dalam pembantuan terhadap tindak pidana, misalnya pembunuhan walaupun akibat tidak timbul, sudah dapat dipidana.
7.       Pengguguran dan Pembunuhan Terhadap Kandungan (346, 347, 348, dan 349 KUHP)
  1. Pengguguran dan Pembunuhan Kandungan yang Dilakukan Sendiri (Pasal 346 KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
  1. Petindak: seorang wanita,
  2. Perbuatan:
1)        Menggugurkan
2)        Mematikan
3)        Menyuruh orang lain menggugurkan; dan
4)        Menyuruh orang lain mematikan;
  1. Obyek: kandungannya sendiri;
Unsur subyektif: dengan sengaja
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Pengguguran dan pembunuhan kandungan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 346 KUHP dilakukan oleh seorang perempuan, terhadap kandungannya sendiri. Tidak disyaratkan bahwa kandungan tersebut sudah berwujud sebagai bayi sempurna dan belum ada proses kelahiran maupun kelahiran bayi, sebagaimana pada pasal 341 dan 342 KUHP. Berlainan dengan kejahatan dalam pasal 341 dan 342 KUHP, karena kandungan sudah berwujud sebagai bayi lengkap, bahkan perbuatan yang dilakukan dalam kejahatan itu adalah pada waktu bayi sedang dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan maka dikatakan bahwa pelakunya haruslah ibunya.
  1. Pengguguran dan Pembunuhan Kandungan Tanpa Persetujuan Perempuan yang Mengandung (Pasal 347 KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
1)       Perbuatan:
a)        menggugurkan,
b)       mematikan
2)       Obyek: kandungan seorang perempuan;
3)       Tanpa persetujuan perempuan itu
Unsur subyektif: dengan sengaja
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan kejahatan dalam pasal 346 KUHP dengan kejahatan  dalam pasal 347 KUHP adalah dalam pasal 346 KUHP terdapat perbuatan menyuruh (orang lain) menggugurkan dan menyuruh (orang lain) mematikan, yang tidak ada dalam pasal 347. Pada pasal 347 ada unsur tanpa persetujuannya (perempuan yang mengandung). Petindak dalam pasal 346 adalah perempuan yang mengandung, sedang petindak dalam pasal 347 adalah orang lain (bukan perempuan yang mengandung.
  1. Pengguguran dan Pembunuhan Kandungan Atas Persetujuan Perempuan yang Mengandung (348 KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
1)       Perbuatan:
a)         menggugurkan,
b)        mematikan
2)       Obyek: kandungan seorang perempuan;
3)       Dengan persetujuan perempuan itu
Unsur subyektif: dengan sengaja
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan mendasar antara kejahatan dalam pasal 347 KUHP dengan kejahatan dalam pasal 348 KUHP adalah dalam pasal 347, pengguguran dan pembunuhan kandungan dilakukan tanpa persetujuan perempuan yang mengandung sedangkan pasal 348 dilakukan atas persetujuan perempuan yang mengandung.
  1. Pengguguran Atau Pembunuhan Kandungan Oleh Dokter, Bidan Atau Juru Obat (349 KUHP)
Perbuatan dokter, bidan atau juru obat tersebut dapat berupa perbuatan:
(1) Melakukan
(2) Membantu melakukan.
Perbuatan melakukan adalah berupa perbuatan melaksanakan dari kejahatan itu, yang artinya dialah (dokter, bidan atau juru obat) sebagai pelaku baik sebagai petindaknya maupun sebagai pelaku pelaksananya (plegen). Sebagai petindak, apabila ia melaksanakan kejahatan itu sendiri, tanpa ada orang lain yang ikut terlibat dalam kejahatan itu. Sebagai pelaku pelaksananya apabila dalam melaksanakan kejahatan itu dapat terlibat orang lain selain dirinya. Membantu melaksanakan adalah berupa perbuatan yang wujud dan sifatnya sebagai perbuatan yang mempermudah atau melancarkan pelaksanaan kejahatan itu.
B.      Kejahatan Terhadap Nyawa yang Dilakukan Tidak Dengan Sengaja (culpose misdrijven)
Unsur-unsur dari rumusan pasal 359 KUHP adalah:
  1. Adanya unsur kelalaian (culpa)
  2. Adanya wujud perbuatan tertentu,
  3. Adanya akibat kematian orang lain;
  4. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan pasal 338 KUHP dengan pasal 359 KUHP adalah dalam pasal 338, kesalahan dalam pembunuhan adalah kesengajaan sedangkan dalam pasal 359 KUHP kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati.