Wednesday, November 16, 2011

PERKEMBANGAN TEORI HUKUM TATA NEGARA DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

Pada masa lalu, istilah “teori hukum tata negara” sangat jarang sekali terdengar, apalagi dibahas dalam perkuliahan maupun forum-forum ilmiah. Hukum Tata Negara yang dipelajari oleh mahasiswa adalah Hukum Tata Negara dalam arti sempit, atau Hukum Tata Negara Positif. Hal ini dipengaruhi oleh watak rejim orde baru yang berupaya mempertahankan tatanan ketatanegaraan pada saat itu yang memang menguntungkan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pemikiran Hukum Tata Negara baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi terhegemoni bahwa tatanan ketatanegaraan berdasarkan Hukum Tata Negara Positif pada saat itu adalah pelaksanaan dari Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akibatnya, pembahasan sisi teoritis dari Hukum Tata Negara menjadi ditinggalkan, bahkan dikekang karena dipandang sebagai pikiran yang “anti kemapanan” dan dapat mengganggu stabilitas nasional.

Padahal dari sisi keilmuan, Hukum Tata Negara dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah staatsrecht atau hukum negara (state law) yang meliputi 2 pengertian, yaitu staatsrecht in ruimere zin (dalam arti luas), dan staatsrecht in engere zin (dalam arti sempit). Staatsrecht in engere zin atau Hukum Tata Negara dalam arti sempit itulah yang biasanya disebut Hukum Tata Negara atau Verfassungsrecht yang dapat dibedakan antara pengertian yang luas dan yang sempit. Hukum Tata Negara dalam arti luas (in ruimere zin) mencakup Hukum Tata Negara (verfassungsrecht) dalam arti sempit dan Hukum Administrasi Negara (verwaltungsrecht).[1] Pada masa lalu, Prof. Dr. Djokosoetono lebih menyukai penggunaan verfassungslehre daripada verfassungsrecht.Istilah yang tepat untuk Hukum Tata Negara sebagai ilmu (constitutional law) adalah Verfassungslehre atau teori konstitusi. Verfassungslehre inilah yang nantinya akan menjadi dasar untuk mempelajari verfassungsrecht.

Di sisi lain, istilah “Hukum Tata Negara” identik dengan pengertian “Hukum Konstitusi” sebagai terjemahan dari Constitutional Law (Inggris), Droit Constitutionnel (Perancis), Diritto Constitutionale (Italia), atau Verfassungsrecht (Jerman). Dari segi bahasa, Constitutional Law memang biasa diterjemahkan menjadi “Hukum Konstitusi”. Namun, istilah “Hukum Tata Negara” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kata yang dipakai adalah Constitutional Law.Oleh karena itu, Hukum Tata Negara dapat dikatakan identik atau disebut sebagai istilah lain belaka dari “Hukum Konstitusi.”.

A. Reformasi Dan Perkembangan Teori Hukum Tata Negara

Teori Hukum Tata Negara mulai mendapat perhatian dan berkembang pesat pada saat bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Salah satu arus utama dari era reformasi adalah gelombang demokratisasi. Demokrasi telah memberikan ruang terhadap tuntutan-tuntutan perubahan, baik tuntutan yang terkait dengan norma penyelenggaraan negara, kelembagaan negara, maupun hubungan antara negara dengan warga negara. Demokrasi pula yang memungkinkan adanya kebebasan dan otonomi akademis untuk mengkaji berbagai teori yang melahirkan pilihan-pilihan sistem dan struktur ketatanegaraan untuk mewadahi berbagai tuntutan tersebut.

Tuntutan perubahan sistem perwakilan diikuti dengan munculnya perdebatan tentang sistem pemilihan umum (misalnya antara distrik atau proporsional, antara stelsel daftar terbuka dengan tertutup) dan struktur parlemen (misalnya masalah kamar-kamar parlemen dan keberadaan DPD). Tuntutan adanya hubungan pusat dan daerah yang lebih berkeadilan diikuti dengan kajian-kajian teoritis tentang bentuk negara hingga model-model penyelenggaraan otonomi daerah.

Tuntutan-tuntutan tersebut meliputi banyak aspek. Kerangka aturan dan kelembagaan yang ada menurut Hukum Tata Negara positif saat itu tidak lagi sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kehidupan masyarakat. Di sisi lain, berbagai kajian teoritis telah muncul dan memberikan alternatif kerangka aturan dan kelembagaan yang baru. Akibatnya, Hukum Tata Negara positif mengalami “deskralisasi”. Hal-hal yang semula tidak dapat dipertanyakan pun digugat. Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dipertanyakan. Demikian pula halnya dengan kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu besar karena memegang kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan membentuk UU. Berbagai tuntutan perubahan berujung pada tuntutan perubahan UUD 1945 yang telah lama disakralkan.

B. Perubahan UUD 1945

Pembahasan tentang latar belakang perubahan UUD 1945 dan argumentasi perubahannya telah banyak dibahas diberbagai literatur, seperti buku Prof. Dr. Mahfud MD.[5], Prof. Dr. Harun Alrasid[6], dan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Bahkan hasil perubahan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat kali perubahan tersebut telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Perubahan tersebut diantaranya meliputi (i) Perubahan norma-norma dasar dalam kehidupan bernegara, seperti penegasan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar; (ii) Perubahan kelembagaan negara dengan adanya lembaga-lembaga baru dan hilangnya beberapa lembaga yang pernah ada; (iii) Perubahan hubungan antar lembaga negara; dan (iv) Masalah Hak Asasi Manusia. Perubahan-perubahan hasil constitutional reform tersebut belum sepenuhnya dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan maupun praktek ketatanegaraan sehingga berbagai kerangka teoritis masih sangat diperlukan untuk mengembangkan dasar-dasar konstitusional tersebut.

C. Keberadaan Mahkamah Konstitusi

Pembentukan MK merupakan penegasan prinsip negara hukum dan jaminan terhadap hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Pembentukan MK juga merupakan perwujudan dari konsep checks and balances dalam sistem ketatanegaraan. Selain itu, pembentukan MK dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa masalah ketatanegaraan yang sebelumnya tidak diatur sehingga menimbulkan ketidakpastian.

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang meliputi memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C ayat (3) menyatakan bahwa MK wajib memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Selanjutnya keberadaan MK diatur berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tersebut, maka MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) agar dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam pelaksanaannya yang terkait dengan kewenangan dan kewajiban MK. Sebagai penjaga konstitusi, MK sekaligus berperan sebagai penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution). Fungsi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut dilaksanakan melalui putusan-putusan MK sesuai dengan empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki. Dalam putusan-putusan MK selalu mengandung pertimbangan hukum dan argumentasi hukum bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan dan harus dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang, maupun dalam bentuk lain sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh MK.

Keberadaan MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi yang dilaksanakan melalui keempat kewenangan dan satu kewajibannya tersebut menempatkan UUD 1945 di satu sisi sebagai hukum tertinggi yang harus dilaksanakan secara konsisten, dan di sisi lain menjadikannya sebagai domain publik dan operasional. Persidangan di Mahkamah Konstitusi yang bersifat terbuka dan menghadirkan berbagai pihak untuk didengar keterangannya dengan sendirinya mendorong masyarakat untuk terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui perkembangan pemikiran bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan. Bahkan pihak-pihak dalam persidangan juga dapat memberikan pemikirannya tentang penafsiran tersebut meskipun pada akhirnya tergantung pada penilaian dan pendapat para Hakim Konstitusi yang akan dituangkan dalam putusan-putusannya.

Dengan demikian, media utama yang memuat pelaksanaan peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir tunggal konstitusi (the guardian and the sole interpreter of the constitution) adalah putusan-putusan yang dibuat berdasarkan kewenangan dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945. Dengan kata lain, penafsiran ketentuan konstitusi dan perkembangannya dapat dipahami dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, tidak saja yang amarnya mengabulkan permohonan, tetapi juga yang ditolak atau tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Karena itu, suatu putusan tidak seharusnya hanya dilihat dari amar putusan, tetapi juga sangat penting untuk memahami pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang pada prinsipnya memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan konstitusi terkait dengan permohonan tertentu.

Putusan Mahkamah Konstitusi dengan sendirinya merupakan dokumen yang memuat penjelasan dan penafsiran ketentuan dalam konstitusi. Di sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan, khususnya dalam pengujian undang-undang, dengan sendirinya merubah suatu ketentuan norma hukum yang harus dilaksanakan oleh segenap organ negara dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut telah menggairahkan perkembangan teori Hukum Tata Negara. Jika pada masa lalu masalah Hukum Tata Negara hanya berpusat pada aktivitas politik di lembaga perwakilan dan kepresidenan, serta pokok bahasannya hanya masalah lembaga negara, hubungan antar lembaga negara dan hak asasi manusia, maka saat ini isu-isu konstitusi mulai merambah pada berbagai aspek kehidupan yang lebih luas dan melibatkan banyak pihak, bahkan tidak saja ahli hukum.

Mengingat UUD 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi dan sosial budaya, maka perdebatan teoritis konstitusional juga banyak terjadi di bidang ekonomi dan sosial budaya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa putusan MK terkait dengan bidang ekonomi seperti dalam pengujian UU Ketenagalistrikan, UU SDA, dan UU Kepailitan. Di bidang sosial budaya misalnya dapat dilihat dari putusan-putusan pengujian UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pengujian UU Sisdiknas.

Perkembangan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mendorong berkembangnya studi-studi teori Hukum Tata Negara. Beberapa teori yang saat ini mulai berkembang dan dibutuhkan misalnya adalah teori-teori norma hukum, teori-teori penafsiran, teori-teori kelembagaan negara, teori-teori demokrasi, teori-teori politik ekonomi, dan teori-teori hak asasi manusia.

Teori-teori norma hukum diperlukan misalnya untuk membedakan antara norma yang bersifat abstrak umum dengan norma yang bersifat konkret individual yang menentukan bagaimana mekanisme pengujiannya. Pembahasan teori-teori norma hukum juga diperlukan untuk menyusun hierarki peraturan perundang-undangan sehingga pembangunan sistem hukum nasional dapat dilakukan sesuai dengan kerangka konstitusional.

Teori-teori selanjutnya yang mulai mendapat perhatian dan tumbuh berkembang adalah teori penafsiran. Dalam hukum sesungguhnya penafsiran menempati kedudukan yang sentral karena aktivitas hukum “berkutat” dengan norma-norma dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan (imputation) ke dalam suatu peristiwa nyata. Penafsiran menjadi semakin penting pada saat suatu norma konstitusi harus dipahami untuk menentukan norma yang lain bertentangan atau tidak dengan norma yang pertama. Kedua norma tersebut harus benar-benar dipahami mulai dari latar belakang, maksud, hingga penafsiran ke depan pada saat akan dilaksanakan. Untuk itu saat ini telah banyak berkembang studi hukum dengan menggunakan alat bantu ilmu penafsiran bahasa (hermeunetik). Demikian pula teori-teori lain yang juga berkembang cukup pesat.

D. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum

Salah satu teori yang penting di bidang Hukum Tata Negara adalah teori hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Banyak yang berpendapat bahwa secara teoritis keberadaan Mahkamah Konstitusi diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi hanya dapat dijamin secara efektif jika terdapat suatu organ selain badan legislatif yang diberikan tugas untuk menguji konstitusionalitas suatu produk hukum. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court). Organ ini khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diberlakukan oleh organ lain.

Pemikiran Kelsen tersebut mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama “Verfassungsgerichtshoft” atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model”. Hal dirumuskan ketika Kelsen menjadi anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada 1919 – 1920 dan diterima menjadi Konstitusi Tahun 1920. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara “a posteriori”, meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian “a priori”.

Pemikiran Hans Kelsen meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan hukum internasional. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten berdasarkan logika hukum secara formal. Logika formal ini telah lama dikembangkan dan menjadi karakteristik utama filsafat Neo-Kantian yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalisme. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.

Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen sebagai berikut:

1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.

2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.

3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.

4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.

5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.

Pendekatan tersebut yang kemudian disebut dengan “The Pure Theory of Law” telah mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan lain, yaitu antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.

Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non-empiris. Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Di sisi lain, berbeda dengan mahzab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral.[14] Tesis yang dikembangkan oleh kaum empiris disebut dengan the reductive thesis, dan antitesisnya yang dikembangkan oleh mahzab hukum alam disebut dengan normativity thesis. Stanley L. Paulson membuat skema berikut ini untuk menggambarkan posisi Kelsen diantara kedua tesis tersebut terkait dengan hubungan hukum dengan fakta dan moral:

Law and Fact

Law and Moraity
   

normativity thesis

(separability of law

and fact)
   

reductive thesis

(inseparability of law and fact)

Morality thesis

(inseparability of law and morality)
   

Natural law theory
-
Separability thesis

(separability of law and morality)
   

Kelsen’s Pure Theory of Law
   

Empirico-positivist theory of law

Kolom vertikal menunjukkan hubungan antara hukum dengan moralitas sedangkan baris horisontal menunjukkan hubungan antara hukum dan fakta. Tesis utama hukum alam adalah morality thesis dan normativity thesis, sedangkan empirico positivist adalah separability thesis dan reductive thesis. Teori Kelsen adalah pada tesis separability thesis dan normativity thesis, yang berarti pemisahan antara hukum dan moralitas dan juga pemisahan antara hukum dan fakta. Sedangkan kolom yang kosong tidak terisi karena jika diisi akan menghasilkan sesuatu yang kontradiktif, sebab tidak mungkin memegang reductive thesis bersama-sama dengan morality thesis.[16]

Teori yang dikembangkan oleh Kelsen sesungguhnya dihasilkan dari analisis perbandingan sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk konsep dasar yang dapat menggambarkan suatu komunitas hukum secara utuh. Masalah utama (subject matter) dalam teori umum adalah norma hukum (legal norm), elemen-elemennya, hubungannya, tata hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum tata hukum yang berbeda, dan akhirnya, kesatuan hukum di dalam tata hukum positif yang plural. The pure theory of law menekankan pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan manifestasi dari otoritas super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman manusia.

The pure theory of law menolak menjadi kajian metafisis tentang hukum. Teori ini mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas, tidak pada prinsip-prinsip meta-juridis, tetapi melalui suatu hipotesis juridis, yaitu suatu norma dasar, yang dibangun dengan analisis logis berdasarkan cara berpikir yuristik aktual. The pure theory of law berbeda dengan analytical jurisprudence dalam hal the pure theory of law lebih konsisten menggunakan metodenya terkait dengan masalah konsep-konsep dasar, norma hukum, hak hukum, kewajiban hukum, dan hubungan antara negara dan hukum.[17]

End Note
 
1Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet-. Kelima, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), hal. 22.
 
2 Djokosoetono, Hukum Tata Negara, Himpunan oleh Harun Alrasid, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982).

3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 95
 
4 Bandingkan dengan Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2004), hal. 5.
 
5 Moh. Mahfud MD., Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 155 – 157.
 
6 UUD 1945 Terlalu Summier? Kepala Biro Pendidikan FH UI Sarankan Perubahan, Harian Merdeka, 18 Maret 1972, dalam Harun Alrasid, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah Oleh MPR, Revisi Cetakan Pertama, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2003), hal. 44-55.
 
7 Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani, Pokok-pokok Usulan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung.
 
8 Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003, hal. 1.
 
9 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 157. 
 
10 Disebut juga dengan “the centralized system of judicial review”. Lihat Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New Heaven and London: Yale University Press, 1999), hal. 225.
 
11 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 28, 29, 64 – 66, 108 dan 109. Terhadap peran Kelsen dalam hal ini masih ada perbedaan pandangan antara mana yang lebih penting perannya antara Georg Jellinek dan Adolf Merkl atau Hans Kelsen. Lihat end note bagian pertama halaman 51 nomor 32.
 
12 Zoran Jelić, A Note On Adolf Merkl’s Theory Of Administrative Law, Journal Facta Universitatis, Series: Law and Politics, Vol. 1, No. 2, 1998, hal. 147. Bandingkan dengan Michael Green, Hans Kelsen and Logic of Legal Systems, 54 Alabama Law review 365 (2003), hal. 368.
 
13W. Friedmann, Teori & Filasafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Judul Asli: Legal Theory, Penerjemah: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 170.
 
14 Michael Green, Hans Kelsen and Logic of Legal Systems, 54 Alabama Law review 365 (2003), hal. 366.
 
15 Stanley L. Paulson, On Kelsen’s Place in Jurispruden, Introduction to Hans Kelsen, Introduction To The Problems Of Legal Theory; A Translation of the First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law, Translated by: Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, (Oxford: Clarendon Press, 1992), hal. xxvi.

Thursday, November 10, 2011

Kejahatan Terhadap Nyawa

Pengertian
Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan merupakan obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven). Atas dasar kesalahannya, ada dua kelompok kejahatan terhadap nyawa, yaitu:
  1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven), dimuat dalam Bab XIX KUHP, pasal 338 sampai 350:
    1. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338 KUHP)
    2. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak pidana lain (339 KUHP)
    3. Pembunuhan berencana (moord, 340 KUHP)
    4. Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan (341, 342, dan 343 KUHP)
    5. Pembunuhan atas permintaan korban (344 KUHP)
    6. Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri (345 KUHP)
    7. Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (346, 347, 348, dan 349 KUHP)
  2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose misdrijven) dimuat dalam Bab XXI, pasal 359.
A.      Kejahatan Terhadap Nyawa yang Dilakukan Dengan Sengaja (dolus misdrijven)
1.       Pembunuhan Biasa Dalam Bentuk Pokok (Doodslag, 338 KUHP)
Unsur-unsur:
  1. Unsur obyektif:
1)     Perbuatan: Menghilangkan nyawa;
2)     Obyek: Nyawa orang lain.
  1. Unsur subyektif: dengan sengaja
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
  1. Adanya wujud perbuatan;
  2. Adanya suatu kematian (orang lain);
  3. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain).
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338 KUHP) dimaksudkan untuk menghilangkan nyawa orang lain, sedangkan tindak pidana penganiayaaan (mishandeling, 351 KUHP) yang ditujukan hanyalah rasa sakit (pijn), luka (letsel) atau merusak kesehatan saja.
2.       Pembunuhan yang Diikuti, Disertai atau Didahului Dengan Tindak Pidana Lain (339 KUHP)
Unsur-unsur:
  1. Semua unsur pembunuhan (obyektif dan subyektif) pasal 388;
  2. Yang (1) diikuti, (2) disertai atau (3) didahului oleh tindak pidana lain;
  3. Pembunuhan itu dilakukan dengan maksud:
1)     Untuk mempersiapkan tindak pidana lain;
2)     Untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain;
3)     Dalam hal tertangkap tangan ditujukan:
a)     Untuk menghindarkan:
(1)  Diri sendiri
(2)  Peserta lainnya dari pidana
b)     Untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum (dari tindak pidana lain itu).
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Pembedaan pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak pidana lain (339 KUHP) dengan pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (365 KUHP):
  1. Pencurian dengan kekerasan (365 KUHP) kejahatan pokoknya adalah pencurian, sedangkan kejahatan dalam pasal 339 KUHP kejahatan pokonya adalah pembunuhan.
  2. Kesengajaan pada pasal 365 KUHP tidak ditujukan pada kematian orang lain sedangkan kesengajaan pada pasal 339 KUHP ditujukan pada matinya orang lain.
3.       Pembunuhan Berencana (Moord, 340 KUHP)
Unsur-unsur:
  1. Unsur subyektif:
1)     Dengan sengaja;
2)     Dengan rencana terlebih dahulu;
  1. Unsur obyektif:
1)     Perbuatan: menghilangkan nyawa;
2)     Obyek: nyawa orang lain.
Moord, pada dasarnya mengandung tiga syarat:
  1. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang;
  2. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak;
  3. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Pembunuhan berencana (340 KUHP) mengandung semua unsur pembunuhan pokok (338 KUHP) dan ditambah satu unsur lagi, yakni dengan rencana terlebih dahulu. Dapat dikatakan bahwa pembunuhan yang dimaksud dalam pasal 338 KUHP adalah tanpa rencana sedangkan dalam pasal 340 KUHP adalah dengan rencana terlebih dahulu.
4.       Pembunuhan Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat atau Tidak Lama Setelah Dilahirkan (341, 342, dan 343 KUHP)
  1. Pembunuhan Biasa Oleh Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat Atau Tidak Lama Setelah Dilahirkan (Kinderdoodslag, Pasal 341 KUHP)
Unsur-unsur:
  1. Unsur subyektif: Dengan sengaja;
  2. Unsur obyektif:
1)     Petindaknya: seorang ibu
2)     Perbuatannya: menghilangkan nyawa
3)     Obyeknya: nyawa bayinya
4)     Waktunya:
(1)  Pada saat bayi dilahirkan atau
(2)  Tidak lama setelah bayi dilahirkan
5)     Motifnya: karena takut diketahui melahirkan
Syaratnya, petindaknya haruslah seorang ibu, yang artinya ibu dari bayi yang dilahirkan.
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan antara kejahatan dalam pasal 341 KUHP dengan pasal 338 KUHP adalah kejahatan dalam pasal 341 KUHP harus dilakukan oleh ibu terhadap bayinya ketika bayi dilahirkan atau tidak lama setelahnya. Sedangkan pasal 338 KUHP tidak harus dilakukan oleh ibu terhadap bayinya, melainkan oleh siapa saja.
  1. Pembunuhan Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat Atau Tidak Lama Setelah Dilahirkan Dengan Direncanakan Lebih Dulu (Kindermoord, Pasal 342 KUHP)
Unsur-unsur:
  1. Petindak: seorang ibu
  2. Adanya putusan kehendak yang telah diambil sebelumnya;
  3. Perbuatan: menghilangkan nyawa;
  4. Obyek: nyawa bayinya sendiri
  5. Waktu:
a)     Pada saat bayi dilahirkan;
b)     Tidak lama setelah bayi dilahirkan;
  1. Karena takut akan diketahui melahirkan bayi
  2. Dengan sengaja
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan kejahatan dalam pasal 340 KUHP dengan pasal 342 KUHP adalah dalam hal pembentukan kehendak, pembunuhan berencana (340 KUHP) dilakukan dalam keadaan atau suasana batin yang tenang, sebaliknya kindermoord (342 KUHP) dilakukan dalam keadaan atau suasana batin yang tidak tenang karena dalam suasana batin yang ketakutan akan diketahui bahwa ia melahirkan bayi.
  1. Turut Serta Dalam Kinderdoodslag Atau Kindermoord (Pasal 343 KUHP)
Pasal 343 KUHP merupakan perkecualian dari ketentuan pasal 58, yang mana ditujukan agar orang yang berkualitas pribadi selain ibu tidak mendapatkan keringanan pidana. Tujuan pasal ini hanya dalam hal penjatuhan pidana semata. Dengan kata lain beban tanggung jawab pidananya yang sama, bukan perbuatannya yang sama atau dianggap sama.
5.       Pembunuhan Atas Permintaan Korban (344 KUHP)
Unsur-unsur:
  1. Perbuatan: menghilangkan nyawa;
  2. Obyek: nyawa orang lain;
  3. Atas permintaan orang itu sendiri;
  4. Yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan nyata antara pembunuhan dalam pasal 344 KUHP dengan pembunuhan dalam pasal 338 KUHP ialah terletak bahwa pada pembunuhan dalam 344 KUHP terdapat unsur (1) atas permintaan korban sendiri, (2) yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh, dan (3) tidak dicantumkannya unsur kesengajaan sebagaimana dalam rumusan pasal 338 KUHP.
6.       Penganjuran dan Pertolongan Pada Bunuh Diri (345 KUHP)
Unsur-unsur:
1)     Unsur obyektif terdiri dari:
a)     Perbuatan:
(1)  Mendorong,
(2)  Menolong,
(3)  Memberikan sarana
b)     Pada orang untuk bunuh diri
c)      Orang tersebut jadi bunuh diri
2)     Unsur subyektif: dengan sengaja
Dalam perbuatan mendorong (aanzetten), inisiatif untuk melakukan bunuh diri bukan berasal dari orang yang bunuh diri, melainkan dari orang lain, yakni dari orang yang mendorong. Berbeda dengan perbuatan menolong dan memberikan sarana, karena dalam kedua perbuatan ini, inisiatif untuk bunuh diri berasal dari korban sendiri.
Perbedaan Dengan Pasal Lain
  1. Perbedaan perbuatan mendorong dalam pasal 345 KUHP dengan perbuatan menganjurkan (uitlokken) dalam pasal 55 (1) KUHP:
    1. Dalam melakukan perbuatan menganjurkan (pasal 55 ayat 1 sub 2 KUHP) sudah ditentukan cara atau upaya melakukannya secara limitatif, karenanya melakukan penganjuran tidak boleh di luar dari cara-cara yang sudah ditentukan oleh UU itu. Sedangkan dalam melakukan perbuatan mendorong karena tidak disebutkan cara dan bentuknya, maka dapat digunakan dengan segala cara, termasuk cara sebagaimana yang digunakan untuk melakukan perbuatan menganjurkan.
    2. Pada perbuatan mendorong ditujukan agar terbentuknya kehendak orang untuk melakukan bunuh diri yang bukan merupakan suatu tindak pidana, tetapi pada perbuatan menganjurkan ditujukan pada terbentuknya kehendak orang untuk melakukan suatu tindak pidana.
    3. Perbedaan perbuatan menolong dan memberi sarana dengan (pasal 345 KUHP) perbuatan membantu (pasal 56 KUHP):
      1. Perbuatan menolong dan memberi sarana adalah merupakan unsur (perbuatan) dari suatu tinak pidana. Sedangkan membantu bukan merupakan unsur (perbuatan) dari suatu tindak pidana, melainkan suatu bagian dari pelaksanaan dari suatu tindak pidana.
      2. Bagi orang yang menolong dan memberi sarana dibebani tanggung jawab sendiri tanpa melihat dan dikaitkan pada tanggung jawab orang ynag ditolong dan diberi sarana. Sebaliknya, pada pembantuan, orang yang membantu dibebani tanggung jawab dengan dikaitkan pada orang yang dibantu, yakni dipidana setinggi-tingginya pidana maksimum diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiganya.
      3. Percobaan pada bunuh diri, dalam arti jika setelah perbuatan bunuh diri dilaksanakan akibat kematian tidak timbul, maka orang yang menolong dan memberi sarana tidak dapat dipidana. Sebaliknya dalam pembantuan terhadap tindak pidana, misalnya pembunuhan walaupun akibat tidak timbul, sudah dapat dipidana.
7.       Pengguguran dan Pembunuhan Terhadap Kandungan (346, 347, 348, dan 349 KUHP)
  1. Pengguguran dan Pembunuhan Kandungan yang Dilakukan Sendiri (Pasal 346 KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
  1. Petindak: seorang wanita,
  2. Perbuatan:
1)        Menggugurkan
2)        Mematikan
3)        Menyuruh orang lain menggugurkan; dan
4)        Menyuruh orang lain mematikan;
  1. Obyek: kandungannya sendiri;
Unsur subyektif: dengan sengaja
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Pengguguran dan pembunuhan kandungan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 346 KUHP dilakukan oleh seorang perempuan, terhadap kandungannya sendiri. Tidak disyaratkan bahwa kandungan tersebut sudah berwujud sebagai bayi sempurna dan belum ada proses kelahiran maupun kelahiran bayi, sebagaimana pada pasal 341 dan 342 KUHP. Berlainan dengan kejahatan dalam pasal 341 dan 342 KUHP, karena kandungan sudah berwujud sebagai bayi lengkap, bahkan perbuatan yang dilakukan dalam kejahatan itu adalah pada waktu bayi sedang dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan maka dikatakan bahwa pelakunya haruslah ibunya.
  1. Pengguguran dan Pembunuhan Kandungan Tanpa Persetujuan Perempuan yang Mengandung (Pasal 347 KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
1)       Perbuatan:
a)        menggugurkan,
b)       mematikan
2)       Obyek: kandungan seorang perempuan;
3)       Tanpa persetujuan perempuan itu
Unsur subyektif: dengan sengaja
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan kejahatan dalam pasal 346 KUHP dengan kejahatan  dalam pasal 347 KUHP adalah dalam pasal 346 KUHP terdapat perbuatan menyuruh (orang lain) menggugurkan dan menyuruh (orang lain) mematikan, yang tidak ada dalam pasal 347. Pada pasal 347 ada unsur tanpa persetujuannya (perempuan yang mengandung). Petindak dalam pasal 346 adalah perempuan yang mengandung, sedang petindak dalam pasal 347 adalah orang lain (bukan perempuan yang mengandung.
  1. Pengguguran dan Pembunuhan Kandungan Atas Persetujuan Perempuan yang Mengandung (348 KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
1)       Perbuatan:
a)         menggugurkan,
b)        mematikan
2)       Obyek: kandungan seorang perempuan;
3)       Dengan persetujuan perempuan itu
Unsur subyektif: dengan sengaja
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan mendasar antara kejahatan dalam pasal 347 KUHP dengan kejahatan dalam pasal 348 KUHP adalah dalam pasal 347, pengguguran dan pembunuhan kandungan dilakukan tanpa persetujuan perempuan yang mengandung sedangkan pasal 348 dilakukan atas persetujuan perempuan yang mengandung.
  1. Pengguguran Atau Pembunuhan Kandungan Oleh Dokter, Bidan Atau Juru Obat (349 KUHP)
Perbuatan dokter, bidan atau juru obat tersebut dapat berupa perbuatan:
(1) Melakukan
(2) Membantu melakukan.
Perbuatan melakukan adalah berupa perbuatan melaksanakan dari kejahatan itu, yang artinya dialah (dokter, bidan atau juru obat) sebagai pelaku baik sebagai petindaknya maupun sebagai pelaku pelaksananya (plegen). Sebagai petindak, apabila ia melaksanakan kejahatan itu sendiri, tanpa ada orang lain yang ikut terlibat dalam kejahatan itu. Sebagai pelaku pelaksananya apabila dalam melaksanakan kejahatan itu dapat terlibat orang lain selain dirinya. Membantu melaksanakan adalah berupa perbuatan yang wujud dan sifatnya sebagai perbuatan yang mempermudah atau melancarkan pelaksanaan kejahatan itu.
B.      Kejahatan Terhadap Nyawa yang Dilakukan Tidak Dengan Sengaja (culpose misdrijven)
Unsur-unsur dari rumusan pasal 359 KUHP adalah:
  1. Adanya unsur kelalaian (culpa)
  2. Adanya wujud perbuatan tertentu,
  3. Adanya akibat kematian orang lain;
  4. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan pasal 338 KUHP dengan pasal 359 KUHP adalah dalam pasal 338, kesalahan dalam pembunuhan adalah kesengajaan sedangkan dalam pasal 359 KUHP kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati.

Tindak Pidana Terhadap Kekayaan

PENDAHULUAN

Kejahatan terhadap harta benda adalah penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang. Dalam buku II KUHP telah dirumuskan secara sempurna, artinya dalam rumusannya memuat unsur-unsur secara lengkap, baik unsur-unsur obyektif maupun unsur-unsur subyektif. Unsur obyektif dapat berupa; unsur perbuatan materiil, unsur benda atau barang, unsur keadaan yang menyertai obyek benda, unsur upaya untuk melakukan perbuatan yang dilarang, unsur akibat konstitutif. Unsur subyektif dapat berupa; unsur kesalahan, unsur melawan hukum.

Seperti tindak pidana yang lain, pencurian dan penggelapan selain mempunyai unsur-unsur pokok seperti diatas. Terdapat pula unsur-unsur khusus yang bersifat memberatkan atau meringankan kejahatan itu. Dalam kenyataannya bentuk-bentuk yang meringankan seperti unsur nilai obyek kurang dari Rp 250,00- relatif sangat kecil. Apakah hal ini telah melindungi harta kekayaan kita?

Dalam tindak pidana penggelapan yang diperluas sub pembahasannya, dengan diundangkannya UU No 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi sebagai tanggapan atas maraknya praktek penggelapan oleh pejabat publik. Makalah ini mengurai tindak pidana penggelapan dan pencurian dengan pendekatan yang sangat sederhana.


PEMBAHASAN

1. Pengertian Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan
Kejahatan terhadap harta kekayaan adalah berupa perkosaan atau penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan milik tertindak), dimuat dalam buku II KUHP, yaitu: tindak pidana pencurian, pemerasan, penggelapan barang, penipuan, merugikan orang berpiutang dan berhak, dan penghancuran atau pengrusakan barang, dan penadahan (begunsting). Berbeda sedikit dengan Wirjono, yang dimaksud dengan kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai harta kekayaan orang adalah tindak-tindak pidana yang termuat dalam KUHP :

Titel XXII : buku II tentang pencurian
Titel XXIII : buku II tentang pemerasan dan pengancaman
Titel XXIV : buku II tentang penggelapan barang
Titel XXV : buku II tentang penipuan
Titel XXI : buku II tentang merugikan orang berpiutang dan berhak
Titel XXVII : buku II tentang penghancuran dan perusakan barang
Titel XXX : buku II tentang pemudahan (begunstiging)
Titel VII : buku III tentang pelanggaran-pelanggaran tentang tanah-tanah tanaman.

Persamaan dari ketujuh macam kejahatan dan satu macam pelanggaran adalah bahwa dengan tindak-tindak pidana ini, merugikan kekayaan seseorang atau badan hukum. Oleh karena itu semua tindak pidana ini merupakan pelanggaran hukum dalam bidang hukum perdata, berupa penggantian dari kerugian oleh si pelaku kepada korban.

Kedelapan tindak pidana tersebut dalam bidang hukum pidana dapat dibagi menjadi dua macam perbuatan : Pertama, perbuatan tidak memenuhi suatu perjanjian (wanprestasi), sebagian besar dari penggelapan barang dan merugikan orang berpiutang dan berhak. Kedua, perbuatan melanggar hukum perdata (onrechtmatige daad dari pasal 1365 BW), sebagian besar dari tindak pidana lainnya: pencurian, pemerasan dan pengancaman, penipuan, penghancuran atau perusakan barang, pemudahan, dan pelanggaran tentang tanah-tanah tanaman.

Unsur-unsur khas dalam tindak pidana terhadap kekayaan orang lain ;

a.Pencurian (diefstal): mengambil barang orang lain untuk memilikinya.
b.Pemerasan (afpersing): memaksa orang lain dengan kekerasan untuk memberikan sesuatu.
c.Pengancaman (afdreiging): memaksa orang lain dengan ancaman untuk memberikan sesuatu.
d.Penipuan (oplichting): membujuk orang lain dengan tipu muslihat untuk memberikan sesuatu.
e.Penggelapan barang (verduistering) : memiliki barang yang sudah ada ditangannya (zich toe-eigenen)
f.Merugikan orang yang berpiutang: sebagai orang berutang berbuat sesuatu terhadap kekayaannya sendiri dengan merugikan si berpiutang (creditor).
g.Penghancuran atau pengrusakan barang: melakukan perbuatan terhadap orang lain secara merugikan tanpa mengambil barang itu.
h.Pemudahan (penadahan): menerima atau memperlakukan barang yang diperoleh orang lain secara tindak pidana.
i.Pelanggaran tentang tanah-tanah tanaman: adanya tanah yang ditanami dan merusak dengan melaluinya.

Rumusan tentang kejahatan terhadap harta kekayaan diterangkan secara lengkap, baik unsur-unsur obyektif, maupun unsur subyektif sebagai berikut;
Unsur-unsur obyektifnya antara lain;
a.Unsur perbuatan materiil seperti perbuatan mengambil pada pencurian, perbuatan memiliki pada penggelapan, perbuatan menggerakkan (hati) pada penipuan, perbuatan memaksa pada pemerasan dan pengancaman, perbuatn menghancurkan dan merusakkan pada penghancuran dan perusakan benda.
b.Unsur benda atau barang
c.Unsur keadaan yang menyertai terhadap obyek benda, yakni unsur milik orang lain yang menyertai atau melekat pada unsur obyek benda tersebut.
d.Unsur upaya-upaya yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang dilarang, seperti kekerasan atau ancaman kekerasan dalam kejahatan pemerasan dan lain-lain.
e.Unsur akibat konstitutif, berupa unsur yang timbul setelah dilakukannya perbuatan yang dilarang (perbuatan materiil).
Sedangkan unsur- unsur subyektif dari kejahatan terhadap harta kekayaan adalah:
a.Unsur kesalahan, yang dirumuskan dengan kata-kata seperti: dengan maksud pada kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan dan pengancaman, atau dengan sengaja pada kejahatan penggelapan, perusakan dan penghancuran barang, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga pada kejahatan penadahan.
b.Unsur melawan hukum, yang dirumuskan secara tegas dengan perkataan melawan hukum dalam kejahatan-kejahatan pencurian, pemerasan, pengancaman, penggelapan dan perusakan barang.

PENCURIAN

A.Pencurian dalam bentuk pokok
Tindak pidana in diatur oleh pasal 362 KUHP yang memuat pengertian pencurian yang berbunyi : "Barang siapa mengambil sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 900,-"

1.Unsur-unsur obyektif 

a) Hij atau barang siapa
Seperti diketahui, unsur obyektif yang pertama dari tindak pidana pencurian adalah hij yang lazimnya diterjemahkan dengan kata “barang siapa”. Kata “hij” menunjukkan orang, yang apabila memenuhi semua unsur tindak pidana pencurian dalam pasal 362, maka ia dapat dipidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana denda setinggi-tingginya Rp.900,00.

b)Unsur perbuatan mengambil (wegnemen)
Kata mengambil dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dan mengalihkan nya ke tempat lain. Simons maupun Pompe, menyamakan bahwa arti mengambil dengan istilah wegnemen dalam KUHP Jerman yang berarti tidak diperlukan pemindahan tempat dimana barang berada, tetapi hanya memegang saja belum cukup, tersangka harus menarik barang itu kepadanya dan menempatkannya dalam kekuasaannya.
Menurut V bemmelen, arti wegnemen dirumuskan sebagai berikut "tiap-tiap perbuatan dimana orang menempatkan barang harta kekayaan orang lain dalam kekuasaannya tanpa turut serta atau tanpa persetujuan orang lain atau tiap-tiap perbuatan dengan mana seseorang memutuskan ikatan dengan mana seorang memutuskan ikatan dengan barang kekayaan itu". Untuk dapat dituntut menurut pasal ini, "pengambilan" itu harus dengan sengaja dan dengan maksud untuk dimilikinya, orang yang karena keliru mengambil barang di jalan kemudian diambilnya dengan maksud untuk dimiliki, dapat pula dikatakan mencuri. Tetapi apabila barang itu kemudian diserahkan kepada pihak polisi, tidak dapat dikenakan pasal ini. Namun apabila kemudian setelah orang itu sampai di rumah timbul niatnya untuk memiliki barang tersebut padahal rencana semula akan diserahkan ke pihak polisi, maka orang itu dapat dituntut perkara penggelapan (pasal 372), karena waktu barang itu dimilikinya sudah berada di tangannya.
Pendapat-pendapat diatas diambil dari teori-teori di bawah ini;
•Teori kontrektasi (contrectatie theorie), teori ini mengatakan bahwa untuk adanya suatu perbuatan “mengambil” disyaratkan dengan sentuhan fisik, yakni pelaku telah memindahkan benda yang bersangkutan dari tempatnya semula.
•Teori ablasi (ablatie theorie), menurut teori ini untuk selesainya perbuatan “mengambil” itu disyaratkan benda yang bersangkutan harus telah diamankan oleh pelaku.
•Teori aprehensi (apprehensie theorie), berdasdarkan teori ini adanya perbuatan “mengambil” itu disyaratkan bahwa pelaku harus membuat benda yang bersangkutan berada dalam penguasaannya yang nyata.

c)Unsur benda
Mengenai obyek pencurian pada awalnya menurut penjelasan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak dan benda-denda berwujud. Benda tidak bergerak, dapat menjadi obyek pencurian apabila sudah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, misalnya sebatang pohon yang telah ditebang atau daun pintu rumah yang telah lepas atau dilepas. Apabila bertindak terlebih dahulu menebang pohon atau melepas daun pintu kemudian diambilnya, maka disamping ia telah melakukan pencurian, ia juga telah melakukan kejahatan benda (pasal 406 KUHP), dalam hal in terjadi perbarengan perbuatan (pasal 65 KUHP).

d)Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain.
Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lian, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik pelaku itu sendiri, seperti sebuah sepeda milik A dan B, kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semua sepeda tersebut telah berada dalam kekuasaannya, kemudian menjualnya maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (pasal 372).

e)Wujud perbuatan memiliki barang
Unsur obyektif terakhir dari tindak pidana pencurian adalah adanya “wujud perbuatan memiliki barang“. Perbuatan ini dapat berwujud macam-macam, seperti menjual, menyerahkan, meminjamkan, memakai sendiri, menggadaikan dan bahkan bersifat negatif, yaitu tidak berbuat apa-apa terhadap barang itu, tetapi juga tidak mempersilakan orang lain berbuat sesuatu dengan barang itu tanpa persetujuannya.

2.Unsur-unsur subyektif

a)Maksud untuk memiliki

Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian yang kedua unsur memiliki. Dua unsur tersebut dapat dibedakan dan tidak terpisahkan, maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Sebagai suatu unsur subyektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya.

Pengertian lain dari memiliki, terdapat dalam MvT. Mengenai pembentukan pasal 362 KUHP yang menyatakan bahwa memiliki itu adalah menguasai sesuatu benda seolah-olah ia pemilik dari benda tersebut. Dalam praktek pengertian yang diberikan oleh Mvt inilah yang sering dianut, seperti tampak dalam arrest HR tanggal 14 02 1938 yang menyatakan "adalah disyaratkan untuk maksud bertindak seolah-olah pemilik dari suatu benda secara melawan hukum hak incasu pelaku telah mengambil arus listrik dengan maksud untuk menggerakkan alat-alat yang berada di bengkel ayahnya secara melawan hukum".

b)Melawan hukum

Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara demikian) itu adalah tindakan melawan hukum. Melawan hukum baik dicantumkan secara tegas dalam rumusan maupun tidak, apabila suatu perbuatan itu sudah dibentuk sebagai larangan dalam undang-undang, maka tetap ada. Dan bila dicantumkan dalam rumusan seperti halnya pencurian, maka harus dibuktikan di persidangan.


B.Pencurian ringan

Pencurian ringan (gepriviligeerde diefstal) dimuat dalam pasal 364 KUHP yang rumusannya sebagai berikut;

"Perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan 363 butir 4, begitupun perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah tempat kediaman atau pekarangan yang tertutup yang ada kediamannya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp 250,00 diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 900,00"
Sedangkan dalam bukunya Jonkers terdapat sedikit perbedaan, pasal 364 menamakan pencurian ringan bagi pencurian biasa yang dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama. Atau disertai hal-hal tersebut dalam pasal 363 nomor 5. Apabila tidak dilakukan dalam suatu rumah kediaman atau di pekarangan tetap. Dimana rumah kediaman bila barang yang dicuri berharga tidak lebih dari Rp.250,00 dan hukumannya maksimal 3 bulan penjara atau denda 60 rupiah.

Unsur yang harus selalu ada dalam pencurian ringan ialah benda tidak lebih dari Rp 250,00. Dalam WvT pencurian ringan tidak diatur hanya KUHP kita yang mengatur hal ini. Untuk masa kini benda seharga Rp 250,00 pada saat ini relatif sangat kecil. Maka daripada itu kejahatan-kejahatan ringan perlu dihapus dari KUHP.

C.Macam-Macam Pencurian

Pencurian dalam bentuk diperberat (gequalificeerde) adalah bemtuk pencurian yang dirumuskan dalam pasal 363 dan 365 KUHP: Ayat (1) "diancam dengan pidana penjara paling lam tujuh tahun:

a.Pencuri ternak

b.Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal ter6dampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan, atau bahaya perang.

c.Pencurian pada waktu malam dalam suatu tempat kediaman atau pekarangan yang tertutup yang ada tempat kediamannya, yang dilakukan oleh orang yang ada di sini tidak diketahui atau dikehendaki oleh yang berhak

d.Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.

e.Pencurian yang untuk masuk ke tempat untuk melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang-barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu.
Ayat (2) "jika pencurian yang diterangkan dalam butir tiga disertai dengan salah satu hal tersebut dalam butir 4 dan 5 maka dikenakan pidana penjara paling lama 9 tahun".
Pencurian yang terdapatnya gabungan dari faktor-faktor yang memperberat dengan pidana penjara paling lama 9 tahun;

a.Faktor saat pelaksanaannya, yaitu waktu malam ditambah faktor tempat melakukannya yaitu dalam sebuah tempat kediaman atau pekarangan yang tertutup yang di dalam nya ada tempat kediamannya dan ditambah lagi salah satu dari dua faktor.

b.Faktor pertama sebagaimana tersebut pada ayat 1 sub 4, yaitu dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. Faktor kedua terdapatnya faktor-faktor yang disebutkan dalam ayat 1 sub lima, yaitu bila cara masuknya ke tempat pencurian atau tempat sampainya pada obyek benda yang dicurinya dilakukan dengan: membongkar, merusak, memanjat, memaki anak kunci palsu, memakai pakaian jabatan palsu.
Pasal 365 merumuskan;

1)Dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun di hukum pencurian yang didahului, disertai, diikuti kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang lain dengan dimaksud untuk mempersiapkan atau memudahkan pencuri itu, atau si pencuri jika tertangkap basah. Supaya ada kesempatan untuk. Melarikan diri atau supaya barang yang dicuri tetap tinggal di tangannya."

2)"Hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun;
Ke-1 - Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah kediaman atau di pekarangan tertutup dimana ada rumah kediaman atau jalan umum atau di dalam kereta api, atau trem yang sedang berjalan.
Ke-2 - Jika perbuatan itu dilakukan dua orang atau lebih bersama-sama.
Ke-3 - Jika yang bersalah telah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan jalan membongkar atau memanjat atau dengan memakai anak kunci, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu.
Ke-4 - Jika perbuatan itu berakibat luka berat.

3)Dijatuhkan hukuman selama-lamanya lima belas tahun jika perbuatan itu membuat mati orang.

4)Hukuman mati atau seumur hidup atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun, dijatuhkan jika perbuatan itu berakibat ada orang yang terluka atau mati, dan lagi perbuatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih dan lagi pula disertai salah satu dari hal-hal yang disebutkan dalam nomor satu dan nomor dua".

Pencurian Oleh Dua Orang atau Lebih Bersama-Sama

Hal ini menunjuk pada dua orang atau lebih yang bekerjasama dengan melakukan tindak pidana pencurian, misalnya mereka bersama-sama mengambil barang-barang dengan kehendak bersama. Tidak perlu ada rancangan bersama yang mendahului pencurian, tapi tidak cukup apabila mereka secara bersamaan waktu mengambil barang-barang.
Dengan digunakannya kata geepleegd (dilakukan), bukan kata began(dilakukan), maka pasal ini berlaku apabila ada dua orang atau lebih yang masuk istilah medeplegen (turut melakukan). Pasal 55 ayat 1no 1KUHP dan syarat bekerja sama memenuhi. Jadi pasal 363 ayat 1no 4 KUHP tidak berlaku apa bila hanya seorang pelaku (dader) dan ada seorang pembantu (modeplichtige) dari pasal 55 ayat 1no 2 KUHP.

D.Pencurian Dalam Lingkungan Keluarga

Pencurian dalam kalangan keluarga ini diatur dalam pasal 367 KUHP, yang dirumuskan sebagai berikut;

(1)Jika pelaku atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami atau istri dari orang yang terkena kejahatan, dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pelaku atau pembantunya tidak mungkin diadakan pidana.

(2)Jika kita adalah suami isteri yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, atau dia adalah saudara sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun dalam garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.

(3)Jika menurut lembaga matriarchal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandungnya, maka aturan tersebut ayat diatas berlaku juga pada orang itu. Menurut pasal 367 diatas dapat disimpulkan beberapa bentuk pencurian dalam keluarga;

a)Bentuk pertama sebagaimana yang diatur dalam ayat 1. apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut;
•Semua unsur pencurian bentuk pokok (pasal 362)
•Adanya unsur khusus yakni;
-Adanya hubungan antara pelaku atau pembantunya dengan korban sebagai suami atau istri yang tidak terpisah meja dan tempat tidur atau tidak terpisah harta kekayaannya.
-Unsur benda obyeknya adalah milik suami atau milik isteri tersebut.

b)Bentuk yang kedua sebagaimana yang diatur dalam ayat 2 pasal 367;
Unsur-unsur baik obyektif maupun subyektif pencurian dalam bentuk pokok (pasal 362) ditambah lagi unsur-unsur khusus yang bersifat alternatif yaitu;
a.Unsur pelaku atau menjadi pelaku pembantunya adalah suami atau istri yang terpisah tempat dan tidur atau terpisah harta kekayaannya.
b.Unsur pelaku atau menjadi pelaku pembantunya adalah keluarga sedarah atau semenda baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua.
Di bawah ini adalah istilah-istilah yang tercantum dalam pasal-pasal diatas;
a.Ternak; hewan-hewan yang berkuku satu, pemamah biak dan babi (pasal 101).
b.Malam; waktu diantara waktu terbenam dan matahari terbit (pasal 98).
c.Memanjat; termasuk juga memasuki dari lubang yang bukan diperuntukkan untuk pintu, sengaja lewat lubang bawah tanah yang digali, ataupun lewat parit atau selokan.
d.Kunci palsu; anak kunci lain, alat yang tidak dimaksudkan untuk membuka kunci seperti kawat, obeng, jarum dan lain-lain.
e.Pekarangan yang tertutup; pekarangan yang telah dilengkapi sarana keamanan.
f.Rumah; bukan hanya tempat tinggal, tempat kediaman seperti halnya kapal, bis, gerbong dan lain-lain.
g.Bersekutu; orang-orang yang terlibat atau bertanggung jawab atas pencurian.
h.Perintah palsu; perintah yang isinya tidak benar.
i.Pakaian palsu; pakaian jabatan atau seragam yang digunakan atau dipakai oleh seseorang yang sebenarnya tidak berhak.

Penggelapan

Bab XXIV (buku II) KUHP mengatur tentang penggelapan (veruistring), terdiri penggelapan 6 pasal (372 s/d 377). Dan beberapa pasal lain yang juga mengenai penggelapan yaitu pasal 415 dan pasal 417, tindak pidana jabatan yang kini ditarik ke dalam tindak pidana korupsi oleh Undang-undang no. 31 Th. 1999 dan Undang-undang no. 20 Th. 2001.
A.Penggelapan Dalam Bentuk Pokok
Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam pasal 372 yang dirumuskan sebagai berikut;
"Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lainnya yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan dengan penjara pidana paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 900,00."

B.Penggelapan Dalam Kalangan Keluarga

Dalam kejahatan harta benda, pencurian, pengancaman, penggelapan, penipuan apabila dilakukan dalam kalangan keluarga maka dapat menjadi;

a.Tidak dapat dilakukan penuntutan baik terhadap pelakunya maupun pelaku pembantunya (pasal 367 ayat 121

b.Tindak pidana aduan. Tanpa ada pengaduan, baik terhadap pelaku utama maupun pelaku pembantunya tidak dilakukan penuntutan (pasal 367 ayat 2).
Dalam Wetboek van Strafrecht, dikemukakan dua alasan bagi ditetapkannya kejahatan aduan yang relatif ini, yakni:

Alasan susila, yaitu mencegah terjadinya hal pemerintah menempatkan orang-orang yang mempunyai hubungan yang sangat dalam (intim) antara yang satu dengan yang lain, berhadapan muka di depan hakim pidana.
Alasan materiil (stoffelijk), yaitu de facto (feitelijk) ada semacam condominium antara suami dan istri.
Perlu diketahui bahwa pada kejahatan penggelapan, baik dalam bentuk pokok maupun dalam bentuk yang diperberat, dalam hal penjatuhan pidana oleh hakim, kepada pelakunya dapat pula dijatuhi pidana tambahan berupa:
a.Pidana pengumuman putusan hakim
b.Pidana pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana disebut dalam pasal 35 no. 1-4 KUHP.
c.Jika dilakukan dalam menjalankan mata pencaharian, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pekerjaannya itu.

C.Penggelapan Berupa Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
"Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 dan paling banyak Rp 750.000.000,00 pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut."

Unsur-unsur obyektif;
a.Pegawai negeri meliputi;
i.Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP.
ii.Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam UU tentang kepegawaian.
iii.Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
iv.Orang yang menerima gaji atau upah dari satu korporasi yang menerima bantuan keuangan negara atau daerah.
b.Perbuatan yang dilarang berupa; menggelapkan, perbuatan membiarkan diambil dan perbuatan membiarkan digelapkan, perbuatan membantu orang lain dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
c.Unsur obyek; uang dan surat berharga.
d.Benda yang disimpan karena jabatannya.
Unsur subyektif; kesengajaan (opzettelijk)
Kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan yang dalam doktrin dpt berwujud dalam tiga bentuk yaitu; kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijheids bewustzijn) yang sering disebut disebut dengan dolus eventualis, dan kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijn).

KESIMPULAN

Kejahatan terhadap harta kekayaan adalah kejahatan-kejahatan dan pelanggaran mengenai harta kekayaan orang adalah tindak-tindak pidana yang termuat dalam buku II KUHP seperti; pencurian dan pemerasan, pengancaman, penipuan, penggelapan barang, merugikan orang berpiutang dan berhak, penghancuran dan perusakan barang pemudahan, pelanggaran tentang tanah-tanah tanaman.



DAFTAR PUSTAKA

o Chazawi, Adami, 2006. Kejahatan terhadap Harta Benda, Malang; Bayu Media
o Prodjodikoro,Wirjono, 2003, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung; Refika Aditama
o Soesilo,1996 KUHP, Bogor: Politea
o Lamintang,1989, Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan ,Bandung; Sinar Baru
o Soeharto, 1993, Hukum Pidana Materiil, Jakarta: Sinar Grafika
o Sugandi,1981, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional
o Kartanegara, Satochid, Tanpa tahun, Hukum Pidana II Delik-Delik Tertentu,? ; Balai Lektur Mahasiswa
o Moeljatno, 1983, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta; Bina Aksara
o A. Soemardipraja, 1977,Himpunan Putusan Mahkamah Agung Disertai Kaidah-Kaidahnya Bandung; Remaja Karya
o J.E. Jonkers.1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta; Bina Aksara
o Lamintang dan Siromangkir, C. 1979. Delik Delik Khusus Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik Dan Lain Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik, Bandung: Tarsito.
o Tresna,1959. Azas-Azas Hukum Pidana, Yogyakarta; UNPAD
o Utrecht, E. 1987. Ringkasan Sari Kuliah Hukum Pidana II, Surabaya: Pustaka Tinta Mas.