Sunday, November 6, 2011

CRIMINAL JUSTICE SYSTEM (Materi Kuliah Hukum Acara Pidana)

CRIMINAL JUSTICE SYSTEM

PENGERTIAN

Istilah Criminal Justice System (CJS) atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.
Remington dan Ohlin : CJS dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana.
Mardjono : CJS adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan
Muladi : CJS merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan Hk Pidana materiil maupun Hk pelaksanaan pidana.
Hagan (1987) membedakan pengertian antara “criminal justice process” (cjp) dan “criminal justice system” (cjs). CJP adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang btersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan CJS adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
Muladi menegaskan bahwa makna integrated cjs adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam:
a. Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
b. Sinkronisasi substansial (substantial syncronization) adalah keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukumj positif.
c. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) adalah keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

BENTUK PENDEKATAN

SPP dikenal dengan tiga bentuk pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Normatif, memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut marupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.
2. Pendekatan Administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi managemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut
3. Pendekatan Sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidak berhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya.

KOMPONEN SISTEM PERADILAN PIDANA

Komponen yang lazim diakui baik dalam kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam praktek:
1. Kepolisian
2. Kejaksaan
3. Pengadilan
4. Lembaga Pemasyarakatan
Pendapat yang lain (Negel & Romli Atmasasmita) memasukkan komponen “pembuat undang-undang dan penasihat hukum”, dengan alasan :
 Bahwa peran pembuat undang-undang justru sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekali gus menjadi tujuan dari penegakan hukum.
 Bahwa keberhasilan penegakan hukum dalam kenyataannya dipengaruhi juga oleh peranan dan tanggungjawab para kelompok penasihat hukum. Peradilan yang cepat, sederhana dan jujur bukan semata-mata ditujukan kepada keempat komponen penegak hukum saja, melainkan juga ditujukan kepada kelompok penasihat hukum sebagai komponen (baru) kelima.

PENDEKATAN SISTEM (SYSTEM APPROACH)

Sejarah perkembangan penanggulangan kejahatan di Eropa dan Amirika Serikat menunjukkan bahwa instansi pertama dan terdepan dalam menghadapi kejahatan adalah kepolisian
Pertanyaan mendasar mengenai kepolisian sering muncul, seperti: apakah kepolisian merupakan instansi kontrol sosial utama yang efisien dari suatu norma hukum pidana, atau apakah kepolisian merupakan lembaga yang berada dibawah dominasi suatu sistem hukum yang memiliki kometmen pokok tentang the rule of low ?
Pendekatan “law and order” atau hukum dan ketertiban yang bertumpu pada asas legalitas telah menimbulkan penafsiran ganda bagi petugas kepolisian. Kedua penafsiran tersebut adalah:
1. penggunaan hukum sebagai instrumen dari ketertiban dimana hukum pidana berisikan perangkat hukum untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat,
2. penggunaan hukum sebagai pembatas bagi petugas penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya atau dengan lain perkataan: hukum pidana bertugas melindungi kemerdekaan individu dalam kerangka suatu sistem ketertiban masyarakat.
Secara singkat menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan “hukum dan ketertiban” dalam peradilan pidana ialah:
a. Kepribadian ganda: penggunaan hukum sebagai instrumen ketertiban dalam masyarakat; dan penggunaan hukum sebagai pembatas kekuasaan penegak hukum.
b. titik berat pada “law enforcement” dimana hukum diutamakan dengan dukungan instansi kepolisian.
c. keberhasilan penanggulangan kejahatan sangat tergantung pada efektivitas dan efisiensi btugas kepolisian.
d. menimbulkan ekses diskresi dalam pelaksanaan tugas kepolisian: police brutality; kolusi;police corruption.
Sistem Peradilan Pidana (SPP) untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di Amirika Serikat pada tahun 1960 an yakni FRANK REMINGTON.
Ciri pemdekatan sistem dalam peradilan pidana menurut Romli Atmasasmita, adalah:
1. titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian,kejaksaan,pengadilan dan lembaga pemasyarakatan)
2. pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.
3. efetivitas sistem penanggulangan kejahatan lebihb utama dari efesiensi penyelesaian perkara.
4. penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the administration oj justice”

SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
BERDASARKAN UU NO. 8 TAHUN 1981

Sebelum dikeluarkannya UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sistem peradilan pidana di Indonesia dilandaskan pada Het Herziene Inlandsch Reglement (Stbl. 1941 No. 44). Ternyata HIR menganut sistem campuran atau the mixed type, bukan menganut inkuisitur. Kekeliruan pandangan telah terjadi terhadap isensi sistem inkuisitur. Sebenarnya prosedur inkuisitur dalam perkara pidana melarang dilakukannya penyiksaan untuk memperoleh pengakuan (confession). Sistem ikuisitur ini muncul dan berkembang justru setelah cara penyiksaan sejak lama dilarang dan dipandang sebagai melanggar hukum.
Setelah UU No. 8 tahun 1981 diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981, maka HIR sebagai satu-satunya landasan hukum bagi proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia, telah dicabut.
UU No. 8 tahun 1981 atau dikenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdiri atas 22 bab disertai penjelasannya secara lengkap. Isi undang-undang menunjukkan sistematika sebagai berikut:
Bab I : Ketentuan Umum. Pasal 1
Bab II : Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang. Pasal 2
Bab III : Dasar Peradilan. Pasal 3
Bab IV : Penyidik dan Penuntut Umum. Pasal 4 s/d 15
- Bagian Kesatu : Penyelidik dan Penyidik. Psl.4 s/d 9
- Bagian kedua : Penyidik Pembantu. Psl. 10 s/d 12
- Bagian ketiga : Penuntut Umum. Psl. 13 s/d 15.
Bab V : Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat.
- Bagian kesatu : Penangkapan. Psl. 16 s/d. 19
- Bagian kedua : Penahanan. Psl. 20 s/d. 31
- Bagian ketiga : Penggeledahan. Psl. 32 s/d. 37
- Bagian keempat : Penyitaan. Psl. 38 s/d. 46
- Bagian kelima : Pemeriksaan Surat. Psl.47 s/d. 49
Bab VI : Tersangka dan terdakwa. Pasal 50 s/d. 68
Bab VII : Bantuan Hukum. Pasal. 69 s/d. 74
Bab VIII : Berita Acara. Pasal 75
Bab IX : Sumpah atau Janji. Pasal. 76
Bab X : Wewenang Pengadilan untuk Mengadili
- Bagian kesatu : Pra-peradilan. Psl. 77 s/d. 83
- Bagian kedua : Pengadilan Negeri. Psl. 84 s/d. 86
- Bagian ketiga : Pengadilan Tinggi. Psl. 87
- Bagian keempat : Mahkamah Agung. Psl. 88
Bab XI : Koneksitas. Pasal 89 s/d. 94
Bab XII : Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
- Bagian kesatu : Ganti Kerugian. Psl. 95 s/d. 96
- Bagian kedua : Rehabilitasi. Psl. 97
Bab XIII : Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian. Psl. 98 s/d. 101.
Bab XIV : Penyidikan
- Bagian kesatu : Penyelidikan. Psl. 102 s/d. 105
- Bagian kedua : Penyidikan. Psl. 106 s/d. 136
Bab XV : Penuntutan. Pasal. 137 s/d. 144
Bab XVI : Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
- Bagian kesatu : Panggilan dan Dakwaan Psl. 145 s/d. 146
- Bagian kedua : Memutuskan sengketa mengenai wewenang mengadili. Psl. 147 s/d.151.
- Bagian ketiga : Acara pemeriksaan biasa. Psl. 152 s/d. 182
- Bagian keempat : Pembuktian dan pemutusan dalam acara pemeriksaan biasa. Psl. 183 s/d. 202
- Bagian kelima : Acara pemeriksaan singkat. Psl. 203 s/d. 204.
- Bagian keenam : Acara Pemeriksaan Cepat.
Paragraf 1: Acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan. Psl. 205 s/d. 210 Paragraf 2: Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan. Psl. 211 s/d. 216
- Bagian ketujuh : Pelbagai ketentuan. Psl. 217 s/d.232.
Bab XVII : Upaya Hukum Biasa
- Bagian kesatu : Pemeriksaan Tingkat Banding. Psl. 233 s/d. 243.
- Bagian kedua : Pemeriksaan untuk Kasasi. Psl. 244 s/d. 258.
Bab XVIII : Upaya Hukum Luar Biasa
- Bagian kesatu : Pemeriksaan Tingkat Kasasi demi kepentingan hukum. Psl. 259 s/d. 262.
- Bagian kedua : Peninjauan kembali Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Psl. 263 s/d. 269.
Bab XIX : Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Psl. 270 s/d 276
Bab XX : Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Psl. 277 s/d. 283.
Bab XXI : Ketentuan Peralihan. Pasal. 284.
Bab XXII : Ketentuan Penutup. Psal 285 s/d. 286.

Mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses, atau disebut “criminal Justice Proses”, dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.
Proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981, melalui pentahapan sebagai berikut:
Tahap pertama : proses penyelesaian perkara pidana dimulai dengan suatu penyelidikan oleh penyelidik. Karena kewajibannya, penyelidik mempunyai wewenang:
1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanya kan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Tahap kedua: dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah “Penangkapa” (Bab V bagian kesatu). Pasal 16 sampai dengan 19 tentang penangkapan mengatur tentang:
1. laporan dan lamanya penangkapan dapat dilakukan, dan
2. siapa yang berhak menangkap; serta
3. apa isi surat perintah penangkapan;
4. bila penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah penangkapan

Tahap ketiga: dari proses penyelesaian perkara pidana adalah “Penahanan”. Berdasarkan seluruh ketentuan tentang penahanan, pembentuk undang-undang memberikan perhatian pada 4 hal:
1. lamanya waktu penahanan yang dapat dilakukan.
2. aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penahanan.
3. batas perpanjangan waktu penahanan dan kekecualiannya.
4. hal yang dapat menangguhkan penahanan.

Tahap keempat: dari proses pemeriksaan perkara pidana berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 adalah “Pemeriksaan dimuka Sidang Pengadilan”.

Pemeriksaan di muka sidang pengadilan diawali dengan pemberi tahuan untuk datang ke sidang pengadilan yang dilakukan secara sah menurut undang-undang (psl.145-146). Setelah surat pemberitahuan tersebut disampaikan kepada tersangka, dan pihak penuntut umum telah melimpahkan perkaranya ke pengadilan negeri menurut undang-undang yang berlaku (psl. 147) maka sekaligus noleh ketua pengadilan negeri setempat ditetapkan kewenangannya untuk mengadili (psl. 148)
Apabila Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa perkara yang diajukan termasuk dalam kewenangannya, maka ia menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut (psl. 152). Selanjutnya proses persidangan dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam pasal 153 dan seterusnya.
Evaluasi terhadap perkembangan kejahatan telah menghasilkan tiga deminsi, yaitu: dimensi kepapahan (kemiskinan), keserakahan dan kekuasaan.
Kejahatan yang bermuara pada dimensi kepapahan akan menghasilkan kejahatan konvensional seperti: pencurian, penganiayaan, pencopetan dan lain-lain.
Kejahatan yang bermuara panda dimensi keserakahan akan menghasilkan bentuk kejahatan yang disebut “corporate crime” atau “white collar crime”.
Kejahatan yang bermuara panda dimensi kekuasaan, akan menghasilkan bentuk kejahatan yang dikenal dengan sebutan korupsi atau perbuatan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan dalam segala aspek pekerjaan dalam pemerintahan. Bentuk kejahatan terakhir ini dalam kriminologi sering disebut “governmental crime”.
Sistem peradilan pidana Indonesia yang berlandaskan UU No. 8 tahun 1981, memiliki sepuluh asas sebagai berikut:
1. Perlakuan yang sama di muka hukum, tanpa diskriminasi apa pun;
2. Praduga tak bersalah;
3. Hak untuk memperoleh kompensasi (gantirugi) dan rehabi litasi;
4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7. Peradilan yang terbuka untuk umum;
8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan panda undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
9. Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; dan
10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya.

Dalam kenyataan praktik peradilan pidana di Indonesia, kesepuluh asas tersebut di atas sudah dikikis secara sistematis dan berkesinambungan sehingga yang tampak saat ini hanyalah retorika mengenai asas-sasa, bukan lagi realita dari asas-asas tersebut.
Konsekuensi logis dari dianutnya “due proses of law” atau proses hukum yang adil atau layak dalam UU No. 8 tahun 1981, ialah bahwa sistem peradilan pidana Indonesia selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana (sesuai dengan sepuluh asas) juga harus didukung oleh sikap batin (penegak hukum) yang menghormati hak-hak masyarakat.
Kesepuluh asas tersebut di atas dalam praktik tidak terlepas dari “desain prosedur” (prosedural design) sistem peradilan pidana yang ditata melalui KUHAP. Mardjono telah membagi sistem ini dalam tiga tahap, yaitu (a) tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap pra-adjudikasi (pre-adjudication), (b) tahap sidang pengadilan atau tahap adjudikasi (adjudication), dan (c) tahap setelah pengadilan atau tahap purna adjudikasi (post adjudication)
Romli Atmasasmita, berpendapat bahwa panda tahap adjudikasi ini, dalam kenyataannya tidak jarang-sekalipun masing-masing pihak memperoleh kesempatan yang sama dan adil- menghasilkan putusan yang justru tidak dirasakan adil atau bahkan sama sekali menghasilkan suatu ketidakadilan sebagai hasil dari suatu “rekayasa”.
Sistem peradilan pidana di Indonesia versi KUHAP telah mempergunakan pendekatan “due proses model”, namun dalam praktik telah mencerminkan”crime control model”
Sahetapy mengajukan konsep pendekatan “sobural” (kacamata bawah) yakni dengan memperhatikan sosial budaya dan struktural masyarakat Indonesia, yang sesuai dengan pasal 23 UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana hakim dalam memutus perkara, atara lain:
Wajib memperhatikan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Bukan hakim saja yang mewujudkan pasal 23 UU No. 14 tahun 1970 tersebut di atas namun juga jaksa penuntut umum dan para penasihat hukum wajib ikut memper hatikan dan mempertimbangkan nilai-nilai yang sama. Cara demikian akan mendorong aparatur penegak hukum menuju suatu kebersamaan dalam menegakkan hukum dan keadilan di negara ini, karena dalam menjalankan tugasnya mereka memiliki acuan nilai-nilai yang sama yaitu nilai yang tumbuh dan berkembang dalam sobural masyarakat.


DIKHOTOMI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
(SISTEM INKUISITUR DAN SISTEM AKUSATUR)

Sistem inkuisitur merupakan bentuk proses penyelesaian perkara pidana yang semula berkembang di daratan Eropa sejak abad ke-13 sampai dengan awal pertengahan abad ke-19. Proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan sistem inkuisitur panda masa itu dimulai dengan adanya inisiatif penyidik atas kehendak sendiri untuk menyelidiki kejahatan. Cara penyelidikan dan pemeriksaan dilakukan secara rahasia. Tahap pertama yang dilakukan oleh penyidik ialah meneliti apakah suatu kejahatan telah dilakukan, dan melakukan identifikasi para pelakunya. Apabila tersangka pelaku kejahatan telah diketahui dan ditangkap, maka tahap kedua, ialah memeriksa pelaku kejahatan tersebut. Dalam tahap ini tersangka ditempatkan terasing dan tidak diperkenankan berkomunikasi dengan pihak lain atau keluarganya. Satu-satunya pemeriksaan waktu itu ialah memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka.
Perbedaan fundamental dari sistem akusatur dengan sistem inkuisitur dimana dalam sistem terakhir, tidak terdapat sama sekali pembatasan bagi aktivitas ruang gerak penyelidikan atau pemeriksaan. Perbedaan lainnya antara kedua sistem tersebut di atas ialah dalam sistem akusatur, tertuduh berhak mengetahui dan mengikuti setiap tahap dari proses peradilan, dan juga berhak mengajukan sanggahan atau argumentasinya (tersangka diperlakukan sebagai subyek). Sedangkan dalam sistem inkuisitur, proses penyelesaian perkara dilakukan sepihak dan tertuduh dibatasi dalam mengajukan pembelaan nya (tersangka diperlakukan sebagai obyek)
Dikhotomi dalam sistem peradilan pidana yang telah berabad-abad yang lampau dijadikan studi perbandingan, dewasa ini telah kehilangan ketajaman perbedaannya. Halmana lebih menonjol lagi dengan ditemukannya sistem campuran (the mixed type) dalam sistem peradilan pidana, sehingga batas pengertian antara sistem inkuisitur dan sistem akusatur sudah tidak dapat dilihat lagi secara tegas. Untuk menghindarkan kesimpangsiuran di atas tampaknya kini di daratan Eropa, terutama di negara-negara yang menganut Common Law System, sistem peradilan pidana mengenal dua model, yakni: “the adversary model” dan “the non-adversary model”
Adversary model dalam sistem peradilan pidana menganut prinsip sebagai berikut:
1. prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu “sengketa” (dispute) antara kedua belah pihak (tertuduh dan penuntut umum) dalam kedudukan (secara teoritis) yang sama dimuka pengadilan.
2. tujuan utamanya (prosedur) adalah menyelesaikan sengke ta yang timbul disebabkan timbulnya kejahatan.
3. penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan (pleadings) dan adanya lembaga jaminan dan perundingan.
4. para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas; peranan penuntut umum ialah melakukan penuntutan; peranan tertuduh ialah menolak atau menyanggah tuduhan.
Sedangkan “non-adversary model” menganut prinsip bahwa:
1. Proses pemeriksaan harus bersifat lebih formal dan berkesinambungan serta dilaksanakan atas dasar praduga bahwa kejahatan telah dilakukan (presumption of guilt);
2. Tujuan utamanya adalah menetapkan apakah dalam kenyataannya perbuatan tersebut merupakan perkara pidana, dan apakah penjatuhan hukuman dapat dibenarkan karenanya;
3. Penelitan terhadap fakta yang diajukan oleh para pihak (penuntut umum dan tertuduh) oleh hakim dapat berlaku tidak terbatas dan tidak bergantung panda atau tidak perlu memperoleh izin para pihak.
4. Kedudukan masing-masing pihak-penuntut umum dan tertuduh-tidak lagi otonom dan sederajat;
5. Semua sumber informasi yang dapat dipercaya dapat dipergunakan guna kepentingan pemeriksaan pendahuluan ataupun di persidangan. Tertuduh merupakan obyek utama dalam pemeriksaan.

ABOLISIONISME
(Perspektif Baru Dalam Sistem Peradilan Pidana)

Paham Abolisionisme mulai dikembangkan oleh Louk Hulsman dari Belanda kitika ia menjadi Ketua Hukum Pidana dan Krimonologi di Universitas Erasmus, Rotterdam, pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman yang secara eksplisit memiliki perspektif abolisionis tampak nyata dalam sebuah pidato wisudanya, Handhaving van Recht (The Maintenence of Justice). Dalam pidatonya ia sangat memperhatikan aspek kemanusiaan yang dipandangnya dapat dikikis oleh keadilan yang dicapai melalui pelaksanaan hukum pidana. Bahkan ia berpendapat bahwa, hukum pidana seharusnya dipandang sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan pencegahan dan perbaikan terhadap ketidakadilan dalam masyarakat.
Karateristik abolisionisme dalam konteks sistem peradilan pidana adalah bahwa, sistem peradilan pidana mengandung masalah dan paham ini tidak yakin kemungkinan terdapatnya kemajuan melalui pembaharuan karena sistem ini menderita cacat struktural yang tidak dapat diperbaiki. Satu-satunya cara yang dianggap realistik dan paling baik ialah dengan mengubah dasar-dasar struktur sistem tersebut. Dalam kaitan ini paham abolisionis melibatkan yang negatif.
Dalam perspektif Hulsman, criminal justice system atau sistem peradilan pidana dipandang sebagai masalah sosial. Ada empat pertimbangan yang melandasi pemikiran Hulsman, yaitu:
1. Sistem peradilan pidana memberikan penderitaan,
2. Sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang dicita-citakannya,
3. Sistem peradilan pidana tidak terkendalikan, dan
4. Pendekatan yang dipergunakan sistem peradilan pidana memiliki cacat mendasar.
Keempat pertimbangan tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bahwa sistem peradilan pidana telah menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan; hal ini berarti terjadi pembatasan kemerdekaan terhadap pelaku tersebut dan mereka dipisahkan atau diasingkan dari masyarakat lingkungannya. Lebih dari itu, mereka dan keluarganya sudah dikenai stigma dan direndahkan martabatnya sehingga kedudukan mereka dalam masyarakat menjadi sangat marjinal.
Penjatuhan pidana terhadap para pelaku kejahatan ini memiliki pelbagai tujuan, mulai dari tujuan memberikan pembalasan dan melindungi masyarakat, sampai tujuan yang bersifat rehabilitatif dan sosialisasi. Akan tetapi, semua tujuan tersebut tidak pernah dapat dicapai secara optimal karena masing-masing tujuan memiliki berbagai kelemahan yang ternyata sangat menonjol dan banyak memperoleh kritik tajam dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai dari tujuan pemidanaan tersebut.
Dalam mekanisme kerja sistem peradilan pidana ini, pelaku kajahatan tidak pernah diikutsertakan sehingga pada gilirannya mereka tidak dapat ikut menentukan tujuan akhir dari pidana yang telah diterimanya. Bahkan para korban kejahatan juga tidak pernah memperoleh manfaat dari hasil akhir suatu sistem peradilan pidana.
Penderitaan atau kerugian korban diwakilkan kepada jaksa penuntut umum sehingga pada esensinya, perwakilan tersebut dipandang sebagai “mencuri kesempatan” dari konflik antara para pihak dan diwujudkan kedalam dua pihak, pertama negara dan di lain pihak tersangka pelaku kejahatan.
Dalam konteks pertimbangan ketiga ini, Hulsman berpendapat bahwa, sistem peradilan pidana tidak terkendali apabila menghadapi kebijaksanaan dari pengambil keputusan sehingga sering rentan dan berubah-ubah, bahkan tiap-tiap instansi memiliki kewenangan yang berbeda satu sama lain dalam menangani mekanisme kerja sistem peradilan pidana yang sering merugikan hak azasi tersangka pelaku kejahatan.
Pertimbangan keempat menunjukkan bahwa selama ini pendekatan yang dipergunakan dalam sistem peradilan pidana mengandung cacat, karena batasan tentang kejahatan dan proses seseorang memperoleh pidana kurang tepat dan tidak layak. Sedangkan menurut Hulsman, konsep kejahatan dan pidana berkaitan erat satu sama lain sehingga tidak mudah menetapkan apa yang merupakan batasan kejahatan dan pidana. Selain itu, kejahatan merupakan konsep yang kompleks dan tidak sekedar hanya menetapkan apa yang benar dan tidak benar, apa yang salah dan tidak salah.
Penetapan melalui cara demikian tampak mempergunakan pendekatan individual sedangkan sistem peradilan pidana memerlukan pendekatan yang bersifat multivarian.
Selama ini menurut Hulsman telah terjadi kesalahan persepsi tentang pidana dan kejahatan atau penjahat. Bahwa antara konsep-konsep tersebut terdapat hubungan yang erat tidak selalu berarti bahwa jika ada kejahatan (dan juga penjahat) harus selalu ada pidana sehingga dalam konteks inilah tampak bahwa sistem peradilan pidana tidak luwes dan tidak kreatif dalam pengendalian sosial (sosial control).

No comments:

Post a Comment