Sunday, November 6, 2011

Ilmu Hukum Pidana Dan Kriminologi Pasangan Yang Masing-Masing Bergerak Kearah Berlawanan

Pertanyaan yang banyak dikemukakan oleh orang adalah apakah kriminologi itu bagian dari ilmu hukum pidana. Pertanyaan ini muncul disebabkan oleh objek permasalahan yang menjadi perhatian dari hukum pidana juga menjadi perhatian dari kriminologi.

Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pada masa lampau, perbedaan antara Hukum Pidana dengan Kriminologi sangat besar. Kriminologi bukan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum pidana. Hukum pidana adalah ilmu pengetahaun dogmatis yang berkerja secara deduktif. Sedangkan kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan alam kodrat yang menggunakan metoda empiris-induktif.

Sesuai perkembangannya, perbedaan ini menjadi tidak begitu tajam, terutama setelah Perand Dunia II, di mana kriminologi berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang lebih banyak membahas tentang tingkah laku manusia. Dikatakan bahwa kriminologi telah berubah dari ilmu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan gamma. Begitu pula dengan ilmu pengetahuan hukum pidana, yang mulai banyak memberikan tekanan kepada arti fungsional dan arti sosial dari kelakukan seseorang, dan kasuistik memainkan peranan yang besar, di mana sampai batas-batas tertentu, hukum pidana juga menggunakan induksi dan empiri.

Namun demikian, perbedaan antara kedua disiplin ilmu tetap ada. Hukum Pidana masih dipandang sebagai ilmu pengetahuan normatif yang penyelidikan-penyelidikannya adalah sekitar aturan-aturan hukum dan penerapan dari aturan-aturan hukum itu dalam rangka pendambaan diri terhadap cita-cita keadilan. Hukum pidana adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji norma-norma atau aturan-aturan yang seharusnya, lalu dirumuskan dan ditetapkan, dan kemudian diberlakukan. Hukum pidana bersifat umum dan universal, dan disebut sebagai post factum ‘setelah kejaidan’. Suatu ketetapan dapat dirumuskan jikalau apabila permasalahan kejahatan telah terjadi di dalam masyarakat, kemudian diberlakukan suatu aturan atau norma yang memberikan batas-batas.

Sementara itu, kriminologi, yang meskipun dalam beberapa hal berpangkal tolak dari konsepsi hukum pidana, lebih banyak menelusuri dan menyelidiki tentang kondisi-kondisi individual dan kondisi-kondisi sosial dari konflik-konflik, dan akibat-akibat serta pengaruh-pengaruh dari represi konflik-konflik dan membandingkannya secara kritis efek-efek dari represi yang bersifat kemasyarakatan disamping juga tindakan-tindakan itu. Berbeda dengan hukum pidana yang bersifat normative, kriminologi lebih mengkaji tentang kenyataan yang senyata-nyatanya, menafsirkan konteks, yang didapati dari hasil penelitian. Kriminologi bersifat lebih khusus dan terbatas. Oleh karena itu kriminologi disebut sebagai pre factum ‘sebelum kejadian’, di mana kriminologi lebih mengkaji sebab musabab dari suatu permasalahan kejahatan.

Meski berbeda, para ahli hukum pidana tetap memerlukan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan pembantu. Dengan menyadari sifat tersendiri dari masing-masing ilmu pengetahuan ini, ilmu pengetahuan hukum pidana dan kriminologi harus bekerja secara berpasangan, tetapi dengan arahnya yang berlawanan. Di antara kedua disiplin ilmu pengetahuan ini, terdapat pikiran integrasi yang saling memerlukan antara satu sama lain. Meskipun berbeda, ilmu pengetahuan hukum pidana dan kriminologi tidak dapat dipeisahkan. Dan justru diperbatasannya ini timbul persoalan-persoalan.

Objek dari ilmu pengetahuan hukum pidana adalah hukum yang berlaku, norma-norma dan sanksi-sanki hukum pidana yang berlaku. Hal ini harus dijelaskan, dianalisa dan disistematsi oleh hukum pidana untuk mendapatkan penerapan yang lebih baik lagi. Ilmu pengetahuan hukum pidana harus meneliti tentang asas-asas yang menjadi dasar dari ketentuan undang-undang. Selain bersifat sistematis, tugas ilmu pengetahuan hukum pidana juga bersifat kritis. Ilmu pengetahuan ini harus mengkaji kepatutan dari asas-asas itu sendiri dan seberapa jauhkah norma-norma dari hukum yang berlaku itu harus berada dalam keadaan yang harmonis dengan asas-asas ini.

Hidup manusia tidak dapat dipisahkan dari “hukum”. Hukum itu selalu tumbuh, hampir setiap hari sehingga hampir tidak ada hal dalam kehidupan ini yang tidak dicampuri hukum. Pertanyaan mengenai dari mana datang dan tumbuhnya hukum, dijawab secara klasik, yang jawabannya adalah hukum bersumber dari undang-undang, kebiasaan, peradilan dan ajaran-ajaran hukum. Akan tetapi diantara sumber-sumber hukum ada kepatutan-kepatutuan, tetapi hampir tidak ada yang mengkaji tentang kepatutan-kepatutan itu, padahal dia justru sangat menentukan. Dalam hal ini, kriminologi memainkan perannya. Kriminologi membuka jalan terang kea rah sumber kepatutan-ketapatutan ini. Jadi, kriminologi membantu ilmu pengetahuan hukum pidana. Kriminologi menunjukkan kepada pembentuk undang-undang dan hakim menengai tanggung jawab mereka yang sangat besar dalam bidang kemanusiaan. Melupakan “kepatutan” atau tidak tahu tentang “kepatutan” akan menyinggung pula hal-hal termasuk bidang kemanusian yang menjadi kurang diperhatikan.

Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mendapatkan tempat di kriminologi. Dalam suatu rantaian penelitian kriminologis yang bersifat interdisipliner, ilmu hukum mempunyai fungsi. Ilmu hukum menunjukkan kepada kriminologi seberapa jauh materi tertentu telah diperhatikan oleh hukum, misalnya perundang-undangan tentang kejahatan remaja. Hukum menunjukkan kepada kriminologi sorotan dan pandangan ilmiah sekitar hukum tentan hal tersebut. melalui sejarah hukum, seorang ahli kriminologi mengetahui bagaimana perundangan-udangan terdahulu mengenai hal tersebut, atau melalui perbandingan hukum: mengatur tentang hal yang sama.

Jadi, kriminologi dan ilmu hukum pidana saling mempengaruhi. Kriminologi menerima hukum itu seperti yang dimaksudkan oleh ilmu hukum pidana, sebaliknya kriminologi dan praktek hukum memperkaya ilmu hukum pidana dan mengadakan evaluasi atas hukum pidana itu.

Dengan menyimak kemungkinan-kemungkinan pertumbuhan hukum pidana dan kriminologi yang akan terjadi di masa depan, kita perlu mengadakan sintesa antara latar belakang dari terjadinya aliran-aliran berpikir secara ilmiah dengan kemungkinan-kemungkinan dapat bertumbuh dan berkembangnya ilmu-ilmu hukum pidana dan kriminolgi itu secara terintegrasi.

Perbedaan metoda dan etos pandangan kemanusiaan antara kedua disiplin ilmu itu, pada saat sekarang ini, tidak boleh mengakibatkan suatu keadaan bertentangan. Perbedaan metoda, yaitu normatif deduktif dan empiris induktif, yang dikatakan membuat kriminologi itu tidak berhukum, artinya memusatkan diri pada kejadian-kejadian dan melupakan norma-norma, mengutamakan individu daripada sistem sosial, pada masa sekarang harus segera diralat. Begitu juga sebaliknya, hukum pidana harus lebih banyak melihat justiabel sebagai manusia agar dapat melaksanakan tugasnya seperti diharapkan oleh perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan dewasa ini.

Pelaksanaan tugas dari ilmu pengetahuan hukum pidana yang demikan mengakibatkan orang-orang pada dewasa ini telah banyak berkecimpung dalam hukum pidana, baik dalam teori maupun praktek, yang melihat persoalan-persoalan hukum pidana tidak lagi sebagai persoalan yang abstrak. Orang semakin banyak menaruh perhatian kepada “manuisa”, dan semakin mendalam. Hal ini mendapat perhatian dari kriminologi, dan berpengaruh terhadap hukum pidana.

Hakekat dan keadian dan hakekat dari hukuman itu dapat disentuh dan dialami oleh ahli hukum dan bukannya bersifat abstrak. Dia itu adalah kenyataan yang sebenarnya sangat dalam letaknya dan merupakan dasari dari kehidupan masyarakat. Denga keterbukaan mengakui kenytaan-kenyataan ini, seorang hakim pidana akan benar-benar mengadili dalam arti memberiak keadilan. Bukan hanya ilmu pengetahuan hukum pidana yang membimbing, tetapi juga kriminologi. Degan demikian jelaslah sudah bahwa masing-masing ilmu pengetahuan ini akan mengejar dan mendalami kekhususannya itu kearah ilmu pengetahuan yang lain. Ilmu pengetahuan hukum pidana mengarah ke kriminologi, dan kriminologi mengarah ke ilmu pengetahuan hukum pidana.

CRIMINAL JUSTICE SYSTEM (Materi Kuliah Hukum Acara Pidana)

CRIMINAL JUSTICE SYSTEM

PENGERTIAN

Istilah Criminal Justice System (CJS) atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.
Remington dan Ohlin : CJS dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana.
Mardjono : CJS adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan
Muladi : CJS merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan Hk Pidana materiil maupun Hk pelaksanaan pidana.
Hagan (1987) membedakan pengertian antara “criminal justice process” (cjp) dan “criminal justice system” (cjs). CJP adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang btersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan CJS adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
Muladi menegaskan bahwa makna integrated cjs adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam:
a. Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
b. Sinkronisasi substansial (substantial syncronization) adalah keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukumj positif.
c. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) adalah keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

BENTUK PENDEKATAN

SPP dikenal dengan tiga bentuk pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Normatif, memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut marupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.
2. Pendekatan Administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi managemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut
3. Pendekatan Sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidak berhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya.

KOMPONEN SISTEM PERADILAN PIDANA

Komponen yang lazim diakui baik dalam kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam praktek:
1. Kepolisian
2. Kejaksaan
3. Pengadilan
4. Lembaga Pemasyarakatan
Pendapat yang lain (Negel & Romli Atmasasmita) memasukkan komponen “pembuat undang-undang dan penasihat hukum”, dengan alasan :
 Bahwa peran pembuat undang-undang justru sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekali gus menjadi tujuan dari penegakan hukum.
 Bahwa keberhasilan penegakan hukum dalam kenyataannya dipengaruhi juga oleh peranan dan tanggungjawab para kelompok penasihat hukum. Peradilan yang cepat, sederhana dan jujur bukan semata-mata ditujukan kepada keempat komponen penegak hukum saja, melainkan juga ditujukan kepada kelompok penasihat hukum sebagai komponen (baru) kelima.

PENDEKATAN SISTEM (SYSTEM APPROACH)

Sejarah perkembangan penanggulangan kejahatan di Eropa dan Amirika Serikat menunjukkan bahwa instansi pertama dan terdepan dalam menghadapi kejahatan adalah kepolisian
Pertanyaan mendasar mengenai kepolisian sering muncul, seperti: apakah kepolisian merupakan instansi kontrol sosial utama yang efisien dari suatu norma hukum pidana, atau apakah kepolisian merupakan lembaga yang berada dibawah dominasi suatu sistem hukum yang memiliki kometmen pokok tentang the rule of low ?
Pendekatan “law and order” atau hukum dan ketertiban yang bertumpu pada asas legalitas telah menimbulkan penafsiran ganda bagi petugas kepolisian. Kedua penafsiran tersebut adalah:
1. penggunaan hukum sebagai instrumen dari ketertiban dimana hukum pidana berisikan perangkat hukum untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat,
2. penggunaan hukum sebagai pembatas bagi petugas penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya atau dengan lain perkataan: hukum pidana bertugas melindungi kemerdekaan individu dalam kerangka suatu sistem ketertiban masyarakat.
Secara singkat menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan “hukum dan ketertiban” dalam peradilan pidana ialah:
a. Kepribadian ganda: penggunaan hukum sebagai instrumen ketertiban dalam masyarakat; dan penggunaan hukum sebagai pembatas kekuasaan penegak hukum.
b. titik berat pada “law enforcement” dimana hukum diutamakan dengan dukungan instansi kepolisian.
c. keberhasilan penanggulangan kejahatan sangat tergantung pada efektivitas dan efisiensi btugas kepolisian.
d. menimbulkan ekses diskresi dalam pelaksanaan tugas kepolisian: police brutality; kolusi;police corruption.
Sistem Peradilan Pidana (SPP) untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di Amirika Serikat pada tahun 1960 an yakni FRANK REMINGTON.
Ciri pemdekatan sistem dalam peradilan pidana menurut Romli Atmasasmita, adalah:
1. titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian,kejaksaan,pengadilan dan lembaga pemasyarakatan)
2. pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.
3. efetivitas sistem penanggulangan kejahatan lebihb utama dari efesiensi penyelesaian perkara.
4. penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the administration oj justice”

SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
BERDASARKAN UU NO. 8 TAHUN 1981

Sebelum dikeluarkannya UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sistem peradilan pidana di Indonesia dilandaskan pada Het Herziene Inlandsch Reglement (Stbl. 1941 No. 44). Ternyata HIR menganut sistem campuran atau the mixed type, bukan menganut inkuisitur. Kekeliruan pandangan telah terjadi terhadap isensi sistem inkuisitur. Sebenarnya prosedur inkuisitur dalam perkara pidana melarang dilakukannya penyiksaan untuk memperoleh pengakuan (confession). Sistem ikuisitur ini muncul dan berkembang justru setelah cara penyiksaan sejak lama dilarang dan dipandang sebagai melanggar hukum.
Setelah UU No. 8 tahun 1981 diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981, maka HIR sebagai satu-satunya landasan hukum bagi proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia, telah dicabut.
UU No. 8 tahun 1981 atau dikenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdiri atas 22 bab disertai penjelasannya secara lengkap. Isi undang-undang menunjukkan sistematika sebagai berikut:
Bab I : Ketentuan Umum. Pasal 1
Bab II : Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang. Pasal 2
Bab III : Dasar Peradilan. Pasal 3
Bab IV : Penyidik dan Penuntut Umum. Pasal 4 s/d 15
- Bagian Kesatu : Penyelidik dan Penyidik. Psl.4 s/d 9
- Bagian kedua : Penyidik Pembantu. Psl. 10 s/d 12
- Bagian ketiga : Penuntut Umum. Psl. 13 s/d 15.
Bab V : Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat.
- Bagian kesatu : Penangkapan. Psl. 16 s/d. 19
- Bagian kedua : Penahanan. Psl. 20 s/d. 31
- Bagian ketiga : Penggeledahan. Psl. 32 s/d. 37
- Bagian keempat : Penyitaan. Psl. 38 s/d. 46
- Bagian kelima : Pemeriksaan Surat. Psl.47 s/d. 49
Bab VI : Tersangka dan terdakwa. Pasal 50 s/d. 68
Bab VII : Bantuan Hukum. Pasal. 69 s/d. 74
Bab VIII : Berita Acara. Pasal 75
Bab IX : Sumpah atau Janji. Pasal. 76
Bab X : Wewenang Pengadilan untuk Mengadili
- Bagian kesatu : Pra-peradilan. Psl. 77 s/d. 83
- Bagian kedua : Pengadilan Negeri. Psl. 84 s/d. 86
- Bagian ketiga : Pengadilan Tinggi. Psl. 87
- Bagian keempat : Mahkamah Agung. Psl. 88
Bab XI : Koneksitas. Pasal 89 s/d. 94
Bab XII : Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
- Bagian kesatu : Ganti Kerugian. Psl. 95 s/d. 96
- Bagian kedua : Rehabilitasi. Psl. 97
Bab XIII : Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian. Psl. 98 s/d. 101.
Bab XIV : Penyidikan
- Bagian kesatu : Penyelidikan. Psl. 102 s/d. 105
- Bagian kedua : Penyidikan. Psl. 106 s/d. 136
Bab XV : Penuntutan. Pasal. 137 s/d. 144
Bab XVI : Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
- Bagian kesatu : Panggilan dan Dakwaan Psl. 145 s/d. 146
- Bagian kedua : Memutuskan sengketa mengenai wewenang mengadili. Psl. 147 s/d.151.
- Bagian ketiga : Acara pemeriksaan biasa. Psl. 152 s/d. 182
- Bagian keempat : Pembuktian dan pemutusan dalam acara pemeriksaan biasa. Psl. 183 s/d. 202
- Bagian kelima : Acara pemeriksaan singkat. Psl. 203 s/d. 204.
- Bagian keenam : Acara Pemeriksaan Cepat.
Paragraf 1: Acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan. Psl. 205 s/d. 210 Paragraf 2: Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan. Psl. 211 s/d. 216
- Bagian ketujuh : Pelbagai ketentuan. Psl. 217 s/d.232.
Bab XVII : Upaya Hukum Biasa
- Bagian kesatu : Pemeriksaan Tingkat Banding. Psl. 233 s/d. 243.
- Bagian kedua : Pemeriksaan untuk Kasasi. Psl. 244 s/d. 258.
Bab XVIII : Upaya Hukum Luar Biasa
- Bagian kesatu : Pemeriksaan Tingkat Kasasi demi kepentingan hukum. Psl. 259 s/d. 262.
- Bagian kedua : Peninjauan kembali Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Psl. 263 s/d. 269.
Bab XIX : Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Psl. 270 s/d 276
Bab XX : Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Psl. 277 s/d. 283.
Bab XXI : Ketentuan Peralihan. Pasal. 284.
Bab XXII : Ketentuan Penutup. Psal 285 s/d. 286.

Mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses, atau disebut “criminal Justice Proses”, dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.
Proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981, melalui pentahapan sebagai berikut:
Tahap pertama : proses penyelesaian perkara pidana dimulai dengan suatu penyelidikan oleh penyelidik. Karena kewajibannya, penyelidik mempunyai wewenang:
1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanya kan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Tahap kedua: dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah “Penangkapa” (Bab V bagian kesatu). Pasal 16 sampai dengan 19 tentang penangkapan mengatur tentang:
1. laporan dan lamanya penangkapan dapat dilakukan, dan
2. siapa yang berhak menangkap; serta
3. apa isi surat perintah penangkapan;
4. bila penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah penangkapan

Tahap ketiga: dari proses penyelesaian perkara pidana adalah “Penahanan”. Berdasarkan seluruh ketentuan tentang penahanan, pembentuk undang-undang memberikan perhatian pada 4 hal:
1. lamanya waktu penahanan yang dapat dilakukan.
2. aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penahanan.
3. batas perpanjangan waktu penahanan dan kekecualiannya.
4. hal yang dapat menangguhkan penahanan.

Tahap keempat: dari proses pemeriksaan perkara pidana berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 adalah “Pemeriksaan dimuka Sidang Pengadilan”.

Pemeriksaan di muka sidang pengadilan diawali dengan pemberi tahuan untuk datang ke sidang pengadilan yang dilakukan secara sah menurut undang-undang (psl.145-146). Setelah surat pemberitahuan tersebut disampaikan kepada tersangka, dan pihak penuntut umum telah melimpahkan perkaranya ke pengadilan negeri menurut undang-undang yang berlaku (psl. 147) maka sekaligus noleh ketua pengadilan negeri setempat ditetapkan kewenangannya untuk mengadili (psl. 148)
Apabila Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa perkara yang diajukan termasuk dalam kewenangannya, maka ia menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut (psl. 152). Selanjutnya proses persidangan dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam pasal 153 dan seterusnya.
Evaluasi terhadap perkembangan kejahatan telah menghasilkan tiga deminsi, yaitu: dimensi kepapahan (kemiskinan), keserakahan dan kekuasaan.
Kejahatan yang bermuara pada dimensi kepapahan akan menghasilkan kejahatan konvensional seperti: pencurian, penganiayaan, pencopetan dan lain-lain.
Kejahatan yang bermuara panda dimensi keserakahan akan menghasilkan bentuk kejahatan yang disebut “corporate crime” atau “white collar crime”.
Kejahatan yang bermuara panda dimensi kekuasaan, akan menghasilkan bentuk kejahatan yang dikenal dengan sebutan korupsi atau perbuatan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan dalam segala aspek pekerjaan dalam pemerintahan. Bentuk kejahatan terakhir ini dalam kriminologi sering disebut “governmental crime”.
Sistem peradilan pidana Indonesia yang berlandaskan UU No. 8 tahun 1981, memiliki sepuluh asas sebagai berikut:
1. Perlakuan yang sama di muka hukum, tanpa diskriminasi apa pun;
2. Praduga tak bersalah;
3. Hak untuk memperoleh kompensasi (gantirugi) dan rehabi litasi;
4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7. Peradilan yang terbuka untuk umum;
8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan panda undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
9. Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; dan
10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya.

Dalam kenyataan praktik peradilan pidana di Indonesia, kesepuluh asas tersebut di atas sudah dikikis secara sistematis dan berkesinambungan sehingga yang tampak saat ini hanyalah retorika mengenai asas-sasa, bukan lagi realita dari asas-asas tersebut.
Konsekuensi logis dari dianutnya “due proses of law” atau proses hukum yang adil atau layak dalam UU No. 8 tahun 1981, ialah bahwa sistem peradilan pidana Indonesia selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana (sesuai dengan sepuluh asas) juga harus didukung oleh sikap batin (penegak hukum) yang menghormati hak-hak masyarakat.
Kesepuluh asas tersebut di atas dalam praktik tidak terlepas dari “desain prosedur” (prosedural design) sistem peradilan pidana yang ditata melalui KUHAP. Mardjono telah membagi sistem ini dalam tiga tahap, yaitu (a) tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap pra-adjudikasi (pre-adjudication), (b) tahap sidang pengadilan atau tahap adjudikasi (adjudication), dan (c) tahap setelah pengadilan atau tahap purna adjudikasi (post adjudication)
Romli Atmasasmita, berpendapat bahwa panda tahap adjudikasi ini, dalam kenyataannya tidak jarang-sekalipun masing-masing pihak memperoleh kesempatan yang sama dan adil- menghasilkan putusan yang justru tidak dirasakan adil atau bahkan sama sekali menghasilkan suatu ketidakadilan sebagai hasil dari suatu “rekayasa”.
Sistem peradilan pidana di Indonesia versi KUHAP telah mempergunakan pendekatan “due proses model”, namun dalam praktik telah mencerminkan”crime control model”
Sahetapy mengajukan konsep pendekatan “sobural” (kacamata bawah) yakni dengan memperhatikan sosial budaya dan struktural masyarakat Indonesia, yang sesuai dengan pasal 23 UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana hakim dalam memutus perkara, atara lain:
Wajib memperhatikan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Bukan hakim saja yang mewujudkan pasal 23 UU No. 14 tahun 1970 tersebut di atas namun juga jaksa penuntut umum dan para penasihat hukum wajib ikut memper hatikan dan mempertimbangkan nilai-nilai yang sama. Cara demikian akan mendorong aparatur penegak hukum menuju suatu kebersamaan dalam menegakkan hukum dan keadilan di negara ini, karena dalam menjalankan tugasnya mereka memiliki acuan nilai-nilai yang sama yaitu nilai yang tumbuh dan berkembang dalam sobural masyarakat.


DIKHOTOMI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
(SISTEM INKUISITUR DAN SISTEM AKUSATUR)

Sistem inkuisitur merupakan bentuk proses penyelesaian perkara pidana yang semula berkembang di daratan Eropa sejak abad ke-13 sampai dengan awal pertengahan abad ke-19. Proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan sistem inkuisitur panda masa itu dimulai dengan adanya inisiatif penyidik atas kehendak sendiri untuk menyelidiki kejahatan. Cara penyelidikan dan pemeriksaan dilakukan secara rahasia. Tahap pertama yang dilakukan oleh penyidik ialah meneliti apakah suatu kejahatan telah dilakukan, dan melakukan identifikasi para pelakunya. Apabila tersangka pelaku kejahatan telah diketahui dan ditangkap, maka tahap kedua, ialah memeriksa pelaku kejahatan tersebut. Dalam tahap ini tersangka ditempatkan terasing dan tidak diperkenankan berkomunikasi dengan pihak lain atau keluarganya. Satu-satunya pemeriksaan waktu itu ialah memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka.
Perbedaan fundamental dari sistem akusatur dengan sistem inkuisitur dimana dalam sistem terakhir, tidak terdapat sama sekali pembatasan bagi aktivitas ruang gerak penyelidikan atau pemeriksaan. Perbedaan lainnya antara kedua sistem tersebut di atas ialah dalam sistem akusatur, tertuduh berhak mengetahui dan mengikuti setiap tahap dari proses peradilan, dan juga berhak mengajukan sanggahan atau argumentasinya (tersangka diperlakukan sebagai subyek). Sedangkan dalam sistem inkuisitur, proses penyelesaian perkara dilakukan sepihak dan tertuduh dibatasi dalam mengajukan pembelaan nya (tersangka diperlakukan sebagai obyek)
Dikhotomi dalam sistem peradilan pidana yang telah berabad-abad yang lampau dijadikan studi perbandingan, dewasa ini telah kehilangan ketajaman perbedaannya. Halmana lebih menonjol lagi dengan ditemukannya sistem campuran (the mixed type) dalam sistem peradilan pidana, sehingga batas pengertian antara sistem inkuisitur dan sistem akusatur sudah tidak dapat dilihat lagi secara tegas. Untuk menghindarkan kesimpangsiuran di atas tampaknya kini di daratan Eropa, terutama di negara-negara yang menganut Common Law System, sistem peradilan pidana mengenal dua model, yakni: “the adversary model” dan “the non-adversary model”
Adversary model dalam sistem peradilan pidana menganut prinsip sebagai berikut:
1. prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu “sengketa” (dispute) antara kedua belah pihak (tertuduh dan penuntut umum) dalam kedudukan (secara teoritis) yang sama dimuka pengadilan.
2. tujuan utamanya (prosedur) adalah menyelesaikan sengke ta yang timbul disebabkan timbulnya kejahatan.
3. penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan (pleadings) dan adanya lembaga jaminan dan perundingan.
4. para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas; peranan penuntut umum ialah melakukan penuntutan; peranan tertuduh ialah menolak atau menyanggah tuduhan.
Sedangkan “non-adversary model” menganut prinsip bahwa:
1. Proses pemeriksaan harus bersifat lebih formal dan berkesinambungan serta dilaksanakan atas dasar praduga bahwa kejahatan telah dilakukan (presumption of guilt);
2. Tujuan utamanya adalah menetapkan apakah dalam kenyataannya perbuatan tersebut merupakan perkara pidana, dan apakah penjatuhan hukuman dapat dibenarkan karenanya;
3. Penelitan terhadap fakta yang diajukan oleh para pihak (penuntut umum dan tertuduh) oleh hakim dapat berlaku tidak terbatas dan tidak bergantung panda atau tidak perlu memperoleh izin para pihak.
4. Kedudukan masing-masing pihak-penuntut umum dan tertuduh-tidak lagi otonom dan sederajat;
5. Semua sumber informasi yang dapat dipercaya dapat dipergunakan guna kepentingan pemeriksaan pendahuluan ataupun di persidangan. Tertuduh merupakan obyek utama dalam pemeriksaan.

ABOLISIONISME
(Perspektif Baru Dalam Sistem Peradilan Pidana)

Paham Abolisionisme mulai dikembangkan oleh Louk Hulsman dari Belanda kitika ia menjadi Ketua Hukum Pidana dan Krimonologi di Universitas Erasmus, Rotterdam, pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman yang secara eksplisit memiliki perspektif abolisionis tampak nyata dalam sebuah pidato wisudanya, Handhaving van Recht (The Maintenence of Justice). Dalam pidatonya ia sangat memperhatikan aspek kemanusiaan yang dipandangnya dapat dikikis oleh keadilan yang dicapai melalui pelaksanaan hukum pidana. Bahkan ia berpendapat bahwa, hukum pidana seharusnya dipandang sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan pencegahan dan perbaikan terhadap ketidakadilan dalam masyarakat.
Karateristik abolisionisme dalam konteks sistem peradilan pidana adalah bahwa, sistem peradilan pidana mengandung masalah dan paham ini tidak yakin kemungkinan terdapatnya kemajuan melalui pembaharuan karena sistem ini menderita cacat struktural yang tidak dapat diperbaiki. Satu-satunya cara yang dianggap realistik dan paling baik ialah dengan mengubah dasar-dasar struktur sistem tersebut. Dalam kaitan ini paham abolisionis melibatkan yang negatif.
Dalam perspektif Hulsman, criminal justice system atau sistem peradilan pidana dipandang sebagai masalah sosial. Ada empat pertimbangan yang melandasi pemikiran Hulsman, yaitu:
1. Sistem peradilan pidana memberikan penderitaan,
2. Sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang dicita-citakannya,
3. Sistem peradilan pidana tidak terkendalikan, dan
4. Pendekatan yang dipergunakan sistem peradilan pidana memiliki cacat mendasar.
Keempat pertimbangan tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bahwa sistem peradilan pidana telah menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan; hal ini berarti terjadi pembatasan kemerdekaan terhadap pelaku tersebut dan mereka dipisahkan atau diasingkan dari masyarakat lingkungannya. Lebih dari itu, mereka dan keluarganya sudah dikenai stigma dan direndahkan martabatnya sehingga kedudukan mereka dalam masyarakat menjadi sangat marjinal.
Penjatuhan pidana terhadap para pelaku kejahatan ini memiliki pelbagai tujuan, mulai dari tujuan memberikan pembalasan dan melindungi masyarakat, sampai tujuan yang bersifat rehabilitatif dan sosialisasi. Akan tetapi, semua tujuan tersebut tidak pernah dapat dicapai secara optimal karena masing-masing tujuan memiliki berbagai kelemahan yang ternyata sangat menonjol dan banyak memperoleh kritik tajam dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai dari tujuan pemidanaan tersebut.
Dalam mekanisme kerja sistem peradilan pidana ini, pelaku kajahatan tidak pernah diikutsertakan sehingga pada gilirannya mereka tidak dapat ikut menentukan tujuan akhir dari pidana yang telah diterimanya. Bahkan para korban kejahatan juga tidak pernah memperoleh manfaat dari hasil akhir suatu sistem peradilan pidana.
Penderitaan atau kerugian korban diwakilkan kepada jaksa penuntut umum sehingga pada esensinya, perwakilan tersebut dipandang sebagai “mencuri kesempatan” dari konflik antara para pihak dan diwujudkan kedalam dua pihak, pertama negara dan di lain pihak tersangka pelaku kejahatan.
Dalam konteks pertimbangan ketiga ini, Hulsman berpendapat bahwa, sistem peradilan pidana tidak terkendali apabila menghadapi kebijaksanaan dari pengambil keputusan sehingga sering rentan dan berubah-ubah, bahkan tiap-tiap instansi memiliki kewenangan yang berbeda satu sama lain dalam menangani mekanisme kerja sistem peradilan pidana yang sering merugikan hak azasi tersangka pelaku kejahatan.
Pertimbangan keempat menunjukkan bahwa selama ini pendekatan yang dipergunakan dalam sistem peradilan pidana mengandung cacat, karena batasan tentang kejahatan dan proses seseorang memperoleh pidana kurang tepat dan tidak layak. Sedangkan menurut Hulsman, konsep kejahatan dan pidana berkaitan erat satu sama lain sehingga tidak mudah menetapkan apa yang merupakan batasan kejahatan dan pidana. Selain itu, kejahatan merupakan konsep yang kompleks dan tidak sekedar hanya menetapkan apa yang benar dan tidak benar, apa yang salah dan tidak salah.
Penetapan melalui cara demikian tampak mempergunakan pendekatan individual sedangkan sistem peradilan pidana memerlukan pendekatan yang bersifat multivarian.
Selama ini menurut Hulsman telah terjadi kesalahan persepsi tentang pidana dan kejahatan atau penjahat. Bahwa antara konsep-konsep tersebut terdapat hubungan yang erat tidak selalu berarti bahwa jika ada kejahatan (dan juga penjahat) harus selalu ada pidana sehingga dalam konteks inilah tampak bahwa sistem peradilan pidana tidak luwes dan tidak kreatif dalam pengendalian sosial (sosial control).

Pengertian Delik dan Macam-Macam Delik

Pengertian Delik

Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang didalam Wetboek Van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut.

“perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”

Utrecht memakai istilah peristiwa pidana karena istilah peristiwa itu meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen) atau suatu melalaikan (verzuin atau nalaten) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu), dan peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum, yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum (Utrecht, 1994 : 251).

Tirtaamidjaja (Leden Marpaung, 2005 : 7) menggunakan istilah pelanggaran pidana untuk kata delik.

Andi Zainal Abidin Farid (1978 : 114) menggunakan istilah peristiwa pidana dengan rumusan peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan itu.

Demikian pula Rusli Effendy (1989 : 54) memakai istilah peristiwa pidana yang menyatakan bahwa peristiwa pidana haruslah dijadikan dan diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lain, sebab kalau dipakai perkataan peristiwa saja, maka hal ini dapat mempunyai arti yang lain.

Menurut Moeljatno (1993 : 54) memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

Mengenai delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing memberiikan Definisi berbeda, menurut Vos mendefinisikan delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Van Hammel mendefiniskan delik sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain, sedangkan Prof. Simons mengartikan delik sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (Leden Marpaung, 2005 : 8).

pengertian dari delik menurut Achmad Ali (2002:251) adalah:
Pengertian umum tentang semua perbuatan yang melanggar hukum ataupun Undang-Undang dengan tidak membedakan apakah pelanggaran itu dibidang hukum privat ataupun hukum publik termasuk hukum pidana.


Macam-Macam Delik

1.Delik kejahatan adalah rumusan delik yang biasanya disebut delik Hukuman, ancaman Hukumannya lebih berat;
2. Delik pelanggaran adalah biasanya disebut delik Undang-Undang yang ancaman Hukumannya memberii alternative bagi setiap pelanggarnya; 
3. Delik formil yaitu delik yang selesai, jika perbuatan yang dirumuskan dalam peraturan pidana itu telah dilakukan tanpa melihat akibatnya.Contoh: Delik pencurian Pasal 362 KUHP, dalam Pasal ini yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik;
4. Delik materiil adalah jika yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik.Contoh: Delik pembunuhan Pasal 338, Undang-undang Hukum pidana, tidak menjelaskan bagaimana cara melakukan pembunuhan, tetapi yang disyaratkan adalah akibatnya yakni adanya orang mati terbunuh, sebagai tujuan si pembuat/pelaku delik;  
5. Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan diberlakukan secara umum.Contoh: Penerapan delik kejahatan dalam buku II KUHP misalnya delik pembunuhan Pasal 338 KUHP;  
6. Delik khusus atau tindak pidana khusus hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu dalam kualitas tertentu dalam kualitas tertentu, misalnya tindak pidana korupsi, ekonomi, subversi dan lain-lain;
 7. Delik biasa adalah terjadinya suatu perbuatan yang tidak perlu ada pengaduan, tetapi justru laporan atau karena kewajiban aparat negara untuk melakukan tindakan;  
8. Delik dolus adalah suatu delik yang dirumuskan dilakukan dengan sengaja.Contoh: Pasal-pasal pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain;  
9. Delik kulpa yakni perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaiannya, kealpaannya atau kurang hati-hatinya atau karena salahnya seseorang yang mengakibatkan orang lain menjadi korban.Contoh: Seorang sopir yang menabrak pejalan kaki, karena kurang hati-hati menjalankan kendaraannya;Seorang buruh yang membuang karung beras dari atas mobil, tiba-tiba jatuh terkena orang lain yang sementara berjalan kaki;
 10. Delik berkualifikasi adalah penerapan delik yang diperberat karena suatu keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.Contoh: Pasal 363 KUHP, pencurian yang dilakukan pada waktu malam, atau mencuri hewan atau dilakukan pada saat terjadi bencana alam dan lain-lain, keadaan yang menyertainya itulah yang memberiatkan sebagai delik pencurian yang berkualifikasi;
 11. Delik sederhana adalah suatu delik yang berbentuk biasa tanpa unsur dan keadaan yang memberiatkan.Contoh: Pasal 362 KUHP, delik pencurian biasa;
 12. Delik berdiri sendiri (Zelfstanding Delict) adalah terjadinya delik hanya satu perbuatan saja tanpa ada kelanjutan perbuatan tersebut dan tidak ada perbuatan lain lagi.Contoh: Seseorang masuk dalam rumah langsung membunuh, tidak mencuri dan memperkosa;  
13. Delik berlanjut (Voortgezettelijke Handeling) adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara berlanjut, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan;
 14. Delik komisionis adalah delik yang karena rumusan Undang-undang bersifat larangan untuk dilakukan.Contoh: Perbuatan mencuri, yang dilarang adalah mencuri atau mengambil barang orang lain secara tidak sah diatur dalam Pasal 362 KUHP;
 15. Delik omisionis adalah delik yang mengetahui ada komplotan jahat tetapi orang itu tidak melaporkan kepada yang berwajib, maka dikenakan Pasal 164 KUHP, jadi sama dengan mengabaikan suatu keharusan;
 16. Delik aduan adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai syarat penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan/korban.Contoh: Pencurian Keluarga Pasal 367 KUHP;Delik Penghinaan Pasal 310 KUHP;Delik Perzinahan Pasal 284 KUHP.

Hukum Pidana & Hukum Perdata

Pada tulisan yang lalu telah kita bicarakan tentang Hukum Pidana, di situ pula telah diutarakan tentang pengertian hukum serta pengertian hukum pidana, oleh sebab itu dalam kesempatan ini tidak perlulah diutarakan ulang.

Dalam kita membicarakan tentang ruang lingkup hukum pidana dan hukum perdata, terlebih dahulu perlulah kita mulai dari dua kategori hukum, yaitu Hukum Publik dan Hukum Privat. 

1.Hukum Publik.
Hukum Publik adalah hukum yang didasarkan pada kepentingan publik, materi dan prosesnya atas dasar otoritas publik. Publik di sini diwakili oleh Negara. Hukum Pidana masuk dalam kategori hukum publik ini, artinya perbuatan yang masuk dalam kategori tindak pidana itu manakala Negara memasukkan perbuatan itu sebagai tindak pidana, misalnya mencuri, membunuh (lihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP), korupsi (lihat dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi), dan seterusnya. Jadi tidak sembarang orang atau masyarakat yang menentukan suatu perbuatan itu adalah sebagai tindak pidana atau bukan, harus ada dasar hukumnya dong…

Sedang prosesnya juga harus didasarkan atas otoritas publik, bukan pribadi. Katakan suatu missal, ada seseorang mencuri, kemudian orang yang kecurian mengatakan, ‘sudahlah, saya mengikhlaskan barang saya itu untuk dia (si pencuri), dan saya minta agar dia itu tidak diproses’. Orang yang kecurian tadi boleh saja berkata begitu, tapi ingat, bahwa pencurian itu merupakan urusan publik, bukan urusan privat (pribadi), maka itu secara hukum proses harus berlanjut. Keikhlasan si tercuri tidaklah serta merta menjadi alasan untuk penghentian proses ataupun tidaklah menjadi alasan penghapus pidana. Namun pun demikian, bisa jadi sebagai alasan yang meringankan pidana, misalnya pencurian dalam kategori pencurian biasa, yaitu ancaman pidana penjara paling lama lima tahun, maka hakim bisa menjatuhkan lima hari saja atau lima bulan saja, tergantung pertimbangan hakimlah. Sedang di tingkat proses penyidikan, penuntutan atau pengadilan, dapatlah dijadikan dasar alasan oleh Penyidik, Jaksa Penuntut Umum ataupun Hakim untuk tidak melakukan penahanan.

Namun pun demikian pula, berdasar Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam keadaan tertentu Polisi, dalam hal ini Penyidik diperkenankan melakukan diskresi atau bahasa gampangnya mengambil kebijakan untuk diselesaikan secara non yudisial, atau bahasa gampangnya diselesaikan secara kekeluargaan.

2.Hukum Privat
Hukum Privat adalah hukum yang baik materia ataupun prosesnya didasarkan atas kepentingan pribadi-pribadi. Hukum Perdata masuk dalam kategori hukum privat ini. Katakan suatu missal, dalam hal jual-beli, terserah para pihak, kontan ataukah kredit, bahkan penjual boleh memberinya secara Cuma-cuma. Misalnya lagi, dalam hal utang-piutang, ini urusan pribadi juga, maka institusi publik tidak boleh turut campur, misalnya Polisi ataupun Jaksa. Utang-piutang adalah urusan pribadi-pribadi. Kalau diproses secara yudisial bagaimana?, boleh saja, tapi itu ada mekanismenya, tidak melalui lembaga Kepolisian ataupun Kejaksaan, tapi langsung ke Pengadilan Negeri melalui Panitera. Bagaimana kalau orang yang meghutangi (piutang) tidak sabar, karena si berhutang belum juga membayar hutangnya, lalu ia mengambil barang milik si berhutang?, kalau tidak disepakati berarti ia melanggar hukum pidana, maka bisa dilaporkan pada Polisi. Bagaimana kalau hal itu dilakukan oleh lembaga publik, misalnya Polisi atau Jaksa?, juga melanggar hukum. Bagaimana kalau disertai ancaman saja?, itu juga tidak boleh, bisa disangkakan sebagai pengancaman atau mungkin juga pemerasan.

Bagaimana kalau ke Pengadilan?. Sudah menjadi kaedah umum, dalam kasus privat Pengadilan akan meminta pada para pihak untuk menyelesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu, dan sedapat mungkin diharapkan tidak melibatkan institusi publik (Negara), dalam hal ini Pengadilan, namun manakala penyelesaian secara kekeluargaan itu tidak mungkin dicapai, maka penyelesaian melalui Pengadilan adalah merupakan upaya terakhir sifatnya.

Sebetulnya pembedaan dalam dua kategori hukum publik dan hukum privat, secara akademik sudah banyak dipersoalkan, tapi untuk sekedar menjelaskan agar lebih mudah dipahami dalam hal kepentingan praktek sebagaimana di atas adalah suatu hal yang sangat membantu.
Hukum pidana

Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan – perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang – undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya. Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang – undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya. Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex specialis)

Hukum pidana dalam Islam dinamakan qisas, yaitu nyawa dibalas dengan nyawa, tangan dengan tangan, tetapi di dalam Islam ketika ada orang yang membunuh tidak langsung dibunuh, karena harus melalui proses pemeriksaan apakah yang membunuh itu sengaja atau tidak disengaja, jika sengaja jelas hukumannya adalah dibunuh jika tidak disengaja wajib membayar di dalam Islam wajib memerdekakan budak yang selamat, jika tidak ada membayar dengan 100 onta, jika mendapat pengampunan dari si keluarga korban maka tidak akan terkena hukuman.”"

Hukum perdata

Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan .

Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
1. Hukum keluarga

2. Hukum harta kekayaan

3. Hukum benda

4. Hukum Perikatan

5. Hukum Waris.

Hukum acara

Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara atau sering juga disebut hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiil dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil. Tanpa hukum acara yang jelas dan memadai, maka pihak yang berwenang menegakkan hukum materiil akan mengalami kesulitan menegakkan hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum materiil pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum materiil perdata, maka ada hukum acara perdata. Sedangkan, untuk hukum materiil tata usaha negara, diperlukan hukum acara tata usaha negara. Hukum acara pidana harus dikuasai terutama oleh para polisi, jaksa, advokat, hakim, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan.

Hukum acara pidana yang harus dikuasai oleh polisi terutama hukum acara pidana yang mengatur soal penyelidikan dan penyidikan, oleh karena tugas pokok polisi menrut hukum acara pidana (KUHAP) adalah terutama melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan. Yang menjadi tugas jaksa adalah penuntutan dan pelaksanaan putusan hakim pidana. Oleh karena itu, jaksa wajib menguasai terutama hukum acara yang terkait dengan tugasnya tersebut. Sedangkan yang harus menguasai hukum acara perdata. termasuk hukum acara tata usaha negara terutama adalah advokat dan hakim. Hal ini disebabkan di dalam hukum acara perdata dan juga hukum acara tata usaha negara, baik polisi maupun jaksa (penuntut umum) tidak diberi peran seperti halnya dalam hukum acara pidana. Advokatlah yang mewakili seseorang untuk memajukan gugatan, baik gugatan perdata maupun gugatan tata usaha negara, terhadap suatu pihak yang dipandang merugikan kliennya. Gugatan itu akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Pihak yang digugat dapat pula menunjuk seorang advokat mewakilinya untuk menangkis gugatan tersebut.

Tegaknya supremasi hukum itu sangat tergantung pada kejujuran para penegak hukum itu sendiri yang dalam menegakkan hukum diharapkan benar-benar dapat menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Para penegak hukum itu adalah hakim, jaksa, polisi, advokat, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan. Jika kelima pilar penegak hukum ini benar-benar menegakkan hukum itu dengan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disebutkan di atas, maka masyarakat akan menaruh respek yang tinggi terhadap para penegak hukum. Dengan semakin tingginya respek itu, maka masyarakat akan terpacu untuk menaati hukum.

Sistem hukum

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sistem hukum di dunia

Ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain sistem hukum Eropa Kontinental, common law system, sistem hukum Anglo-Saxon, sistem hukum adat, sistem hukum agama.

Sistem hukum Eropa Kontinental

Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.

Common law system adalah SUATU sistem hukum yang di gunakan di Inggris yang mana di dalamnya menganut aliran frele recht lehre yaitu dimana hukum tidak dibatasi oleh undang-undang tetapi hakim diberikan kebebasan untuk melaksanakan undang-undang atau mengabaikannya.

Sistem hukum Anglo-Saxon

Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.

Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.

Sistem hukum adat/kebiasaan

Hukum Adat adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. misalnya di perkampungan pedesaan terpencil yang masih mengikuti hukum adat. dan memiliki sanksi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di wilayah tertentu.

Sistem hukum agama

Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci.

Hukum Indonesia

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hukum Indonesia

Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam. Uraian lebih lanjut ada pada bagian Hukum Indonesia

Hukum Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi,[1] yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Hukum perdata Indonesia

Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya

Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga memengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.

Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:

• Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

• Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.

• Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.

• Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.

Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.

Hukum pidana Indonesia

Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).

Hukum tata negara

Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara. Hukum tata negara mengatur mengenai negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan nyata dari suatu negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari negara tertentu) tetapi lebih pada negara dalam arti luas. Hukum ini membicarakan negara dalam arti yang abstrak.

Hukum tata usaha (administrasi) negara

Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara dimana negara dalam “keadaan yang bergerak”. Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.

Hukum acara perdata Indonesia

Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata. Dalam hukum acara perdata, dapat dilihat dalam berbagai peraturan Belanda dulu(misalnya; Het Herziene Inlandsh Reglement/HIR, RBG, RB,RO).

Hukum acara pidana Indonesia

Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.

Asas dalam hukum acara pidana

Asas di dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:

• Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.

• Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).

• Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).

• Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).

• Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.

Hukum antar tata hukum

Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.

Hukum adat di Indonesia

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hukum Adat di Indonesia

Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berlaku di suatu wilayah.

Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena belum adanya dukungan yang penuh dari segenap lapisan masyarakat secara demokratis baik melalui pemilu atau referendum maupun amandemen terhadap UUD 1945 secara tegas dan konsisten. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
Istilah hukum

Advokat

Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta – yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum – adalah advokat.

Advokat dan pengacara

Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa pendapat yang menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18 tahun 2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam ini sangat beragam, mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat dan lainnya. Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama atau secara individual yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam di pengadilan. Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak diundangkannya UU nomor 18 tahun 2003, maka istilah-istilah tersebut distandarisasi menjadi advokat saja.

Dahulu yang membedakan keduanya yaitu Advokat adalah seseorang yang memegang izin ber”acara” di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk “beracara” di seluruh wilayah Republik Indonesia sedangkan Pengacara Praktek adalah seseorang yang memegang izin praktik / beracara berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi setempat dimana wilayah beracaranya adalah “hanya” diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktik tersebut. Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.(Pengacara dan Pengacara Praktek/pokrol dst seteah UU No. 18 tahun 2003 dihapus)

Konsultan hukum

Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at law atau legal consultant adalah orang yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun 2003 berlaku, semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan lainnya yang berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandarisasi menjadi advokat.

Jaksa dan polisi

Dua institusi publik yang berperan aktif dalam menegakkan hukum publik di Indonesia adalah kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian atau polisi berperan untuk menerima, menyelidiki, menyidik suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup wilayahnya. Apabila ditemukan unsur-unsur tindak pidana, baik khusus maupun umum, atau tertentu, maka pelaku (tersangka) akan diminta keterangan, dan apabila perlu akan ditahan. Dalam masa penahanan, tersangka akan diminta keterangannya mengenai tindak pidana yang diduga terjadi. Selain tersangka, maka polisi juga memeriksa saksi-saksi dan alat bukti yang berhubungan erat dengan tindak pidana yang disangkakan. Keterangan tersebut terhimpun dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang apabila dinyatakan P21 atau lengkap, akan dikirimkan ke kejaksaan untuk dipersiapkan masa persidangannya di pengadilan. Kejaksaan akan menjalankan fungsi pengecekan BAP dan analisa bukti-bukti serta saksi untuk diajukan ke pengadilan. Apabila kejaksaan berpendapat bahwa bukti atau saksi kurang mendukung, maka kejaksaan akan mengembalikan berkas tersebut ke kepolisian, untuk dilengkapi. Setelah lengkap, maka kejaksaan akan melakukan proses penuntutan perkara. Pada tahap ini, pelaku (tersangka) telah berubah statusnya menjadi terdakwa, yang akan disidang dalam pengadilan. Apabila telah dijatuhkan putusan, maka status terdakwa berubah menjadi terpidana.