Saturday, November 5, 2011

Pengertian Hukum dan Norma serta Hierarki Perundang-undangan di Indonesia

Hukum dan norma merupakan dua hal yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Kedua hal tersebut saling berkaitan dan biasa disebut dalam satu kesatuan. Baik hukum maupun norma berperan dalam mengatur kehidupan manusia atau individu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk lebih memahami keterkaitan antara keduanya, hal yang harus dilakukan terlebih dahulu ialah memahami pengertian dari hukum dan norma itu sendiri. Tulisan ini akan menguraikan mengenai pengertian keduanya serta membahas mengenai hierarki hukum di Indonesia. Hukum memiliki pengertian yang beragam karena memiliki ruang lingkup dan aspek yang luas. Hukum dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan, disiplin, kaedah, tata hukum, petugas (hukum), keputusan penguasa, proses pemerintahan, perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur dan juga sebagai suatu jalinan nilai-nilai. Hukum juga merupakan bagian dari norma, yaitu norma hukum. Norma itu sendiri merupakan bahasa latin yang dapat diartikan sebagai suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Sistem norma yang berlaku bagi manusia sekurang-kurangnya terdiri atas norma moral, norma agama, norma etika atau kesopanan dan norma hukum. Norma hukum adalah sistem aturan yang diciptakan oleh lembaga kenegaraan yang ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Artinya, hukum diciptakan dan diberlakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan dalam membentuk dan memberlakukan hukum, yaitu badan legislatif. Hukum merupakan norma yang memuat sanksi yang tegas. Di Indonesia, istilah hukum digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjukkan norma yang berlaku di Indonesia. Hukum Indonesia adalah suatu sistem norma atau sistem aturan yang berlaku di Indonesia. Sistem aturan tersebut diwujudkan dalam perundang-undangan. Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang tata urutan perundang-undangan, jenis dan hierarki perundang-undangan menyebutkan bahwa hierarki perundang-undangan Indonesia meliputi; pertama UUD 1945, yang merupakan peraturan negara atau sumber hukum tertinggi dan menjadi sumber bagi peraturan perundang-undangan lainnya. Kedua, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu), kewenangan penyusunan undang-undang berada pada DPR denga persetujuan bersama dengan presiden. Dalam kepentingan yang memaksa presiden bisa mengeluarkan Perpu. Ketiga, Peraturan Pemerintah (PP), yang berhak menetapkan PP adalah presiden. Dalam hal ini presiden melakukan sendiri tanpa persetujuan dari DPR. Keempat adalah Peraturan Presiden, di dalamnya berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah. Selanjutnya adalah Peraturan Daerah (Perda). Perda ini meliputi Perda provinsi, Perda kabupaten/kota dan peraturan desa atau peraturan yang setingkat. Adapun wewenang untuk menetapkan Perda berada pada kepala daerah atas persetujuan DPRD. Pembahasan di atas telah menunjukan bahwa ada hubungan yang sangat dekat antara hukum dan norma. Dalam kehidupan sehari-hari, hukum Indonesia juga dianggap sebagai sistem norma yang berlaku di Indonesia yang mengatur kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.

ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INDONESIA DAN KAJIAN PERBANDINGAN HUKUM

Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu” Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Moeljatno menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Oemar Seno Adji menentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”.Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions).

Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).

Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801 yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Paul Johan Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Akan tetapi, menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap bahwa “Talmudic Jurisprudence” lah yang mendahului teori von Feurbach.Bambang Poernomo menyebutkan bahwa, apa yang dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: “nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali”.
 
Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin, ada menimbulkan kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum Romawi kuno. Aturan ini, dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari juris Jerman, von Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini lahir pada awal abad 19 dan harus dipandang sebagai produk ajaran klasik.J.E. Sahetapy menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu.Moeljatno menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi Kuno.Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang”. Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.
 
Selain konteks di atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas legalitas berasal dari ajaran Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Menurut van der Donk dan Hazewinkel Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam ajaran kedua tokoh tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas. Maksud dari pelajaran kedua tokoh tersebut adalah melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap tuntutan tindakan yang sewenang-wenang.Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana.
Dikaji dari perspektif sejarah terbentuknya asas legalitas dalam KUHP Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS. Ned), sebagaimana berasal dari ketentuan Pasal 8 Declaration des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789 yang berbunyi, “tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”, dan merupakan pandangan Lafayette dari Amerika ke Perancis dan bersumber dari Bill of Rights Virgina tahun 1776.
 
Apabila dianalisis lebih intens, detail dan terperinci terminologi “ketentuan perundang-undangan (wettelijk strafbepaling)” dan “undang-undang” maka ruang lingkup asas legalitas dalam hukum pidana materiil lebih luas dengan terminologi “perundang-undangan” dari kata “undang-undang” pada ketentuan hukum acara pidana. Tegasnya, asas legalitas di samping dikenal dalam ketentuan hukum pidana materiel juga dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Andi Hamzah kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian, asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel, karena istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) “ketentuan perundang-undangan” (wettelijk strafbepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut undang-undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi tidak boleh membuat aturan acara pidana.
 
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti). Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan dilakukan. Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex, priusquam feriat (undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya), ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegahan, menghukum dapat dibenarkan.

Dalam perspektif tradisi Civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu terhadap peraturan perundangan-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa dan analogi.[15] Roelof H. Haveman menyebutkan keempat dimensi konteks di atas sebagai, though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality.Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:

(1)Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

(2)Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).

(3)Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
 
Komariah  Emong  Sapardjaja dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen menyebutkan ada empat makna yang terkandung asal legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi. Polarisasi pemikiran Komariah  Emong  Sapardjaja dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen hakikatnya identik dengan pendapat dari Machteld Boot dengan titik tolak pandangan Jeschek dan Weigend yang menyebutkan empat syarat asas legalitas. Pertama, tidak ada perbuatan pidana dan pidana tanpa undang-undang sebelumnya (asas nullum crimen, noela poena sine lege pravia). Kedua, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis (asas nullum crimen, nulla poena sine lege scripta).  Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas (asas nullum crimen, nulla poena sine lege certa). Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat (asas nullum crimen, noela poena sine lege stricta).  Lebih detail Machteld Boot menyebutkan bahwa:
 
“The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in Article 1 StGB is generally considered to include four separate requirements. Fist, conduct can only be punished if the punishability as well as the acconpanying penalty had been determined before the offence was committed (nullum crimen, noela poena sine lege praevia). Furthermore, these determinations have to be be included in statutes (Gesetze): nullum crimen, noela poena sine lege scripta. These statutes have to be difinite (bestimmt): nullum crimen, noela poena sine lege certa. Lastly, these statutes may not be applied by analogy which is reflected in the axion nullum crimen, noela poena sine lege stricta.” 

JH. J. Enschede, menyebutkan hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu: Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana (...wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder een wettelijke strafbepaling...). Kedua, kekuatan ketentuan pidana pidana tidak boleh diberlakukan surut (...zo’n strafbepaling mag geen terugwerkende kracht hebben...).Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas legalitas. Pertama, Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, bdgk. Pasal 3 KUHP Indonesia 1981) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti formal yang dapat memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk) dalam ketentuan Pasal 1 menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundang-undangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. Kedua, Lex Certa (undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex Certa atau bestimmtheitsgebot merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku. Ketiga, dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan perundang-undangan). 
 
Lebih lanjut Von Feurbach menyebutkan makna asas legalitas menimbulkan tiga peraturan lain. Pertama, setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla poena sine lege).  Kedua, penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine). Ketiga, perbuatan yang diancam dengan pidana yang menurut undang-undang, membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-undang dijatuhkan (nullum crimen sine poena legali).Berikutnya Richard G. Singer dan Martin R. Gardner menyebutkan asas legalitas berkorelasi dengan 3 (tiga) dimensi, yaitu: Pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif. Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang berlaku surut. Ketiga, perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau institusi yang berwenang.
 
Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui dalam KUHP Indonesia baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2008).[24] Akan tetapi, Utrecht keberatan dengan dianutnya asas legalitas di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Lebih terperinci maka Utrecht mengatakan bahwa:

“Terhadap azas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa azas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen). Akibat azas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (=peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak terhukum. Azas nullum delictum itu menjadi suatu halangan bagi hakim pidana menghukum seorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak “strafbaar”’ masih juga “strafwaardig”. Ada lagi satu alasan untuk menghapuskan pasal 1 ayat 1 KUHPidana, yaitu suatu alasan yang dikemukakan oleh terutama hakim pidana di daerah bahwa pasal 1 ayat 1 KUH Pidana menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.”
 
Akan tetapi, walaupun demikian pada umumnya asas legalitas tersebut menurut Andi Hamzah diterima dalam KUHP Indonesia meskipun merupakan dilema. Lebih jauh dikatakan, bahwa:

 “Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari sudut yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.”

Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat   (1)   KUHP   mengandung  di dalamnya  asas  “legalitas formal”,  asas “lex certa”, dan asas “Lex Temporis Delicti” atau asas “nonretroaktif”.  Asas legalitas formal (lex scripta) dalam tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law) harus mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta). Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut (retroaktif) akan tetapi harus bersifat prospectif. Oleh karena itu maka makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan (prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:

(a)   “nullum crimen, nulla poena sine lege scripta” (larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis—unwritten law--) ;

(b)   “Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta” (larangan untuk melakukan analogy) ;

(c)    “Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia” (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut) ;

(d)  “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas –unclear terms-).

Ketentuan asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Tahun 2008 perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 menyebutkan asas legalitas dengan redaksional sebagai, “Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”. Kemudian ketentuan asas legalitas ini lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 disebutkan, bahwa:

 “Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada Undang-undang. Dipergunakan asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.”
 
Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijdgebied) yang terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yang berbunyi, “bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.
Barda Nawawi Arief mempergunakan terminologi melemahnya/bergesernya asas legalitas antara lain dikarenakan sebagai berikut:

1.Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP ;

2.Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel ;

3.Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951; Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum delictum sine lege”, tetapi juga sebagai “nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum ;

4.Dalam dokumen internasional dalam KUHP negara lain juga terlihat perkembangan/pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat Pasal 15 ayat (2) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada di atas) ;

5.Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan mengenai “pemaafan/pengampunan hakim” (dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “rechterlijk pardon”, “Judicial pardon”, “Dispensa de pena” atau “Nonimposing of penalty”) yang merupakan bentuk “Judicial corrective to the legality principle” ;

6.Ada perubahan fundamental di KUHAP Perancis pada tahun 1975 (dengan Undang-undang Nomor 75-624 tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai “pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana” (“the declaration of guilt without imposing a penalty”) ;

7.Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari “cyber-crime” merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas “lex certa”, karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti.

 Khusus terhadap pengecualian asas legalitas ditentukan asas “lex temporis delicti” sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi dasar asas ini menentukan   apabila   terjadi   perubahan  perundang-undangan  maka  diterapkan  ketentuan yang menguntungkan terdakwa. Jan Remmelink menyebutkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) memberikan jawaban dalam artian bahwa bila undang-undang yang berlaku setelah tindak pidana ternyata lebih menguntungkan, maka pemberlakuannya secara surut diperkenankan. Pandangan demikian diakui dan diterima  di  Belgia  dan  Jerman.  A.  Zainal  Abidin Farid menyebutkan yang dimaksud dengan perubahan undang-undang dalam pasal 1 ayat (2) KUHP apakah termasuk undang-undang pidana saja atau semua aturan hukum maka aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori yaitu teori formil yang dianut oleh Simons, kemudian teori materiil terbatas yang dikemukakan oleh van Geuns dan teori materiil tak terbatas. Menurut teori formil maka perubahan undang-undang baru dapat terjadi  bilamana redaksi undang-undang pidana yang diubah. Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang menurut pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Kemudian menurut teori materiil terbatas bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan undang-undang ex pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Teori materiil tak terbatas dimana H.R. dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (N.J. 1922 h. 239) yang disebut Huurcommicciewet-arrest, berpendapat bahwa ”perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan, baik perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang menurut teori materiil terbatas, maupun perubahan keadaan karena waktu”.

Konklusi dasar asas legalitas sebagaimana diuraikan konteks di atas, dikaji dari prespektif karakteristiknya terdapat dimensi-dimensi sebagai berikut:
  •  Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang. 
  • Tidak dapat diterapkan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
  • Tidak dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
  • Tidak boleh ada rumusan delik yang kurang jelas (asas lex certa).
  • Tidak ada ketentuan pidana diberlakukan secara surut (asas nonretroaktif).
  • Tidak ada pidana, kecuali ditentukan dalam undang-undang.
  • Penuntutan pidana hanya berdasarkan ketentuan undang-undang.

Dikaji dari perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas legalitas tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada International Criminal Court (ICC) asas legalitas diatur khususnya pada article 22, article 23 dan article 24. Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege ayat (1) menyebutkan, “A person shall not be criminally responsible under this Statute unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the court”, dan ayat (2) menyebutkan, “The definition of a crime shall not be extended by analogy. In case of ambiguity. The definition shall be intepreted in favour of the person being investigated, prosecuted, or convicted”, dan ayat (3), “This article shll not affect the characterization of any conduct as criminal under international law independently of the Statute”. Kemudian article 23 berbunyi, “A person convicted by the court may be punished only in accordance with the Statute”, dan article 24 ayat (1) selengkapnya berbunyi bahwa, “No person shall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute”, dan ayat (2) berbunyi bahwa, “In the event of change in the applicable to a given case prior to a final judgment, the law more favorable to the person being investigated or convicted shall apply”.

Kemudian dalam Pasal 9 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia yang ditandatangani di San Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan mulai berlaku pada tanggal 18 Juli 1978 asas legalitas diformulasikan dengan redaksional bahwa, “No one shall be convicted of any act or omission that did notconstitute a criminal offence, under applicable law, at the time when it was committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence. If subsequent to the commission of the offense that law provides for the imposition of a lighter punishment, the guilty person shall benefit thereform”. Berikutnya, asas legalitas juga terdapat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III) tanggal 10 Desember 1948 dimana pada Pasal 11 ayat (2) disebutkan asas legalitas dengan redaksional bahwa, “No one shall be had guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was commited. Not shall a heavier by imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed”. Selain itu, asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 7 ayat (2) African Charter on Human and People Rights yang ditandatangani di Nairobi, Kenya, dan berlaku pada tangal 21 Oktober 1986 yang menyebutkan bahwa, “No one may be condemmed for an act or omission which did not constitute a legally punishable offence for which no provision was made at the time it was committed. Punishment is personal and can be imposed only on the offender”.
 
Kemudian pada KUHP Jerman yang diumumkan tanggal 13 November 1998 (Federal Law Gazette I, p. 945, p. 322) disebut Strafgesetzbuch (StGB) pada Section 1 No Punishment Without a Law disebutkan bahwa, “Sebuah perbuatan hanya dapat dipidana apabila telah ditetapkan oleh undang-undang sebelum perbuatan itu dilakukan”, (An act may only be punished if its punishability was determined by law before the act was committed). Pada asasnya, asas legalitas ini di Jerman juga berorientasi kepada dimensi penuntutan, sehingga menurut George P. Fletcher di Jerman menganut “positive legality principle”.
 
Kemudian asas legalitas ini juga dikenal di Negara Polandia. Pada ketentuan Pasal 42 Konstitusi Republik Polandia maka asas legalitas dirumuskan dengan redaksional, “Only a person who has commited an act prohibited by a statute in force at the moment of commission there of, and which is subject to a penalty, shall be geld criminally responsible. This principle shaal not prevent punishment of any act which, at the moment of its commission, constituted an offence within the meaning of international law”. Berikutnya asas legalitas ini dirumuskan dalam Pasal 7 Konstitusi Perancis dengan menyebutkan bahwa, “A person may be accused, arrested, or detained only in the cases specified by law and in accordance with the procedures which the law provides. Those who solicit, forward, carry out or have arbitrary orders carried out shall be punished; however, any citizen summoned or apprehended pursuant to law obey forhwith; by resisting, he admits his guilt”.  Kemudian dalam Pasal 25 Konstitusi Spanjol ditegaskan asas legalitas adalah, “No one may be convicted or sentenced for actions or omissions which when committed did not constitute a criminal offence, misdemeanour or administrative offence under the law then in force” dan dalam Pasal 25 Konstitusi Italia asas legalitas dirumuskan sebagai, “No one shall be punished on the basic of a law which has entered into force before the offence has been committed”.                                                    
 
Selain negara-negara di atas maka asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 14 Konstitusi Negara Belgia sebagai, “No punishment can be made or given except in pursuance of the law”. Kemudian Pasal 29 Konstitusi Republik Portugal menentukan bahwa, ”No one shall be convicted under the criminal law except for an  act or omission made punishable under exiisting law; and no one shall be subjected to a security measure, except for reasons authorised under existing law. No sentences or security measures shall be ordered that are not expressly provided for in existing lawas. No one shall bee subjected to a sentence or security measure that is more severe than hose applicable at the time the act was committed or the preparations for its commission were made. Criminal laws that are favourable to the affender shall aply retroactively”. Selanjutnya pada Pasal 57 Konstitusi Hongaria disebut asas legalitas dengan redaksional sebagai, “No one shall be declared guilty and subjected to punishment for an offense that was not a criminal offense under Hungarian law at the time such offense was committed”. 

Asas-Asas Hukum Pidana

Asas-Asas Hukum Pidana

Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP).

Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP) Dan Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.

Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing.

Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana dimana pun ia berada Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan negara Inonesia.

Hukum

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."

Hukum Pidana

Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

    Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
    Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
    Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.

Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melaikan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan
.

Sumber-Sumber Hukum Pidana

Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis.[4]Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain:

    Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
    Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
    Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).


Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain:

    UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.
    UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
    UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme dll


Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.
 
Asas-Asas Hukum Pidana

Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan 
 
(Pasal 1 Ayat (1) KUHP). Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa 
 
(Pasal 1 Ayat (2) KUHP) Dan Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut. Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing. Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana dimana pun ia berada Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan negara Inonesia
 
Macam-Macam Pembagian Delik

Dalam hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik ke dalam:
 
Delik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya, sengaja merampas jiwa orang lain (Pasal 338 KUHP) dan delik yang disebabkan karena kurang hati-hati, misalnya, karena kesalahannya telah menimbulkan matinya orang lain dalam lalu lintas di jalan.(Pasal 359 KUHP).
 Menjalankan hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang, misalnya, melakukan pencurian atau penipuan (Pasal 362 dan378 KUHP) dan tidak menjalankan hal-hal yang seharusnya dilakukan menurut Undang-undang, misalnya tidak melapor adanya komplotan yang merencanakan makar.
 Kejahatan (Buku II KUHP), merupakan perbuatan yang sangat tercela, terlepas dari ada atau tidaknya larangan dalam Undang-undang. Karena itu disebut juga sebagai delik hukum.
 pelanggaran (Buku III KUHP), merupakan perbuatan yang dianggap salah satu justru karena adanya larangan dalam Undang-undang. Karena itu juga disebut delik Undang-undang.

Macam-Macam Pidana

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut :

Hukuman-Hukuman Pokok
 
  1. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.
  2. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara.Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol. 
  3. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran.[rujukan?] Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda.[rujukan?] Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian 
  4. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan.Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan. 
  5. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.
 
Hukuman Tambahan

Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain :

Pencabutan hak-hak tertentu.
Penyitaan barang-barang tertentu.
Pengumuman keputusan hakim.

GAGASAN DASARÂ PEMIKIRAN HUKUM PB PMII - BIDANG HUKUM DAN HAM

Indonesia adalah negara hukum, penryataan ini dengan jelas  dirumuskan dalam kostitusi negara  undang-undang  dasar  1945 pasal 1 ayat 3. Pilihan hukum sebagai landasan bernegara mengisyaratkan bahwa hukum memiliki kedudukan yang sangat prinsip  dalam penataan kehidupan bermasyarakat, berbagsa dan bernegara. Para pendiri bangsa ini sangat sadar bahwa  untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara yaitu melindungi segenab bangsa dan seluruh tumpa darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa maka pilihan hukum sebagai pijakan dasar menjadi suatu keharusan. hukum dideklarasikan sebagai landasan pijak dalam penataan dan pegelolaan negara sekaligus sebagai sarana untuk mengarahkan pada pencapaian tujuan dan cita-cita negara. Bahwa dalam upaya untuk  mencapai tujuan negara hukum merupakan sarana paling efektif untuk mengantarkan pada tujuan tersebut.

Negara hukum yang dirumuskan oleh bangsa indonesia dalam konstitusi sesungguhnya merupakan kristalisasi pemaknaan dari pada nilai-nilai pancasila sebagai falsafah rakyat indonesia. Hukum yang dicita-citakan oleh rakyat adalah hukum yang lahir dan tumbuh dalam keyakinan rakyat  indonesia  dengan demikian setiap hukum yang hendak dirumuskan perlu memperhatikan pancasila sebagai sumber hukum dan norma-norma serta nilai-nilai luhur yang ada dalam kehidupan masyarakat.

Dalam negara hukum yang dijiwai oleh semangat pancasila dan nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat diyakini dapat memelihara dan melindungi keselamatan dan segala kepetingan hak-haknya hidup rakyat sepanjang hukum ditegakan pada siapapun. Hukum yang dibangun dan di cita-citakan  adalah Hukum yang menjadikan harkat dan martabat kemanusiaan terangkat serta terhormat, semua rakyat memiliki kedududkan yang sama dan mendapat perlakuan yang sama pula di depan hukum. Dalam negara hukum yang bersendikan pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa  dalam konteks ini siapapun patut menundukan dirinya pada ketentuan hukum yang berlaku. Hukum menjadi panglima sekaligus penentu dalam menyatakan sah tidaknya suatu tindakan publik hukum yang berlaku dibangsa ini merupakan pernyataan kesadaran manusia bermoral dan berakal sekaligus penanda kemajuan peradaban kehidupan  manusia indonesia. Pilihan rakyat  indonesia menjadikan hukum sebagai dasar  pijakan dalam penataan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara memberi  makna   bahwa seluruh elemen yang ada dalam yuridiksi negara indonesia wajib untuk taat dan tunduk pada hukum yang berlaku serta patut menghormati hukum yang ada.   Ketidak taatan terhadap  hukum tersebut adalah merupakan bentuk penghianatan terhadap kehendak luhur  rakyat, bangsa dan negara.

Negara hukum merupakan pilihan sadar kolektifitas rakyat indonesia yang mana kesadaran ini  merupakan keinginan luhur untuk hidup dalam suasana kebersamaan dan persatuan.  olehnya itu penegakan supermasi hukum terhadap siapapun yang hendak merusak kesadaran dan keinginan rakyat  merupakan kemutlakan untuk dilaksanakan. Sebab  Dengan landasan hukum yang kokoh dan penegakan supermasi hukum akan menjadikan keutuhan negara kesatuan republik indonesia  tetap kokoh,  kehidupan berbangsa  dan bernegara menjadi aman, tentram damai dan sentosa serta bermartabat.

Bagi bangsa Indonesia filsafat Pancasila sebagai filsafat hidup dijadikan dasar negara (filsafat negara; ideologi negara) sebagaimana dirumuskan dan disahkan oleh PPKI sebagai the founding fathers dalam UUD Proklamasi 45. NKRI sebagai negara Proklamasi berdasarkan Filsafat Pancasila; dalam makna, nilai sistem filsafat Pancasila sebagai ideologi nasional dan konstitusi Proklamasi 45 manunggal dan fungsional dalam integritas kebangsaan dan kenegaraan. Sejak Indonesia merdeka dapat diakui  secara filosofis-ideologis dan legal konstitusional --- bahwa NKRI Proklamasi 45 dengan predikat sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45.

Kaidah fundamental filsafat negara berfungsi pula sebagai asas kerokhanian bangsa dan negara; mulai ajaran hak asasi manusia (HAM) sampai teori negara; incasu : teori kedaulatan di dalam negara. Maknanya, teori kedaulatan adalah jabaran dari ajaran atau teori HAM; bagaimana kedudukan, hak dan kewajiban manusia di dalam negara bahkan dalam alam semesta dan di hadapan Maha Pencipta. Terkandung pula makna bahwa manusia adalah subyek mandiri: subyek budaya (termasuk subyek hukum) dan subyek moral.

Kedudukan manusia  dalam ajaran HAM berdasarkan filsafat negaranya, dibentuklah sistem kenegaraan (berkedaulatan rakyat / demokrasi; dan atau negara hukum). Sistem kenegaraan ini ditegakkan dan dikembangkan secara niscaya (a priori, imperatif) berdasarkan asas fundamental sistem filsafat dan atau ideologi nasional yang memberikan identitas dan integritas bagaimana sistem hukum, sosial, politik, ekonomi dan ketatanegaraan seutuhnya ditegakkan dalam wawasan nasional dan internasional (universal).

Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 memancarkan keunggulan sistem kenegaraan Indonesia Raya (baik sebagai negara berkedaulatan rakyat, maupun sebagai negara hukum); sehingga sempurna keunggulannya mulai nilai natural  (SDA dan SDM), dan kultural (sistem budaya, filsafat dan peradaban) sekaligus Sistem Kenegaraan yang diwariskan sebagai peradaban bangsa yang bermartabat.

Visi-misi dan tantangan bangsa dan NKRI terutama mampu menegakkan integritas Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 potensial didukung dengan berbagai keunggulan; terutama integritas sebagai negara demokrasi dan negara hukum, demi kesejahteraan dan keadilan sosial yang lebih bermartabat. Nilai-nilai fundamental: filosofis-ideologis dan konstitusional secara imperatif menjadi amanat dan kewajiban nasional untuk ditegakkan dan dibudayakan oleh manusia sebagai subyek dalam negara, perwujudan integritas dan martabat nasional.

Dari gagasan dasar pikir di atas pengurus besar Pergerkan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Bidang Hukum dan HAM merumuskan Visi dan Misinya “hendak mendorong dan menggerakan pemikiran semua elemen bangsa khususnya mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Besar Bintang Sembilan untuk mengambil gerakan mengembalikan pemikiran hukum pada landasan yang sesungguhnya yaitu pancasila, UUD 1945 serta nilai-nilai luhur yang tumbuh dan hidup dalam keyakinan rakyat indonesia.”

Sebab pada kenyataanya praktek pelaksaan hukum dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini telah menyimpang  dari semangat pancasila, UUD 1945 dan nilai luhur bangsa. Akibatnya kehadiran  hukum yang diharapkan dapat mengantarkan segenap rakyat indonesia mewujutkan cita-citanya justru menjadi penghalang dan penindasan bagi rakyat sendiri.